10

282 91 26
                                    

Seperti kata Erza, hari itu- sepulang sekolah Jian datang ke belakang sekolah. Ke jalur Gaza, dekat rumah Alga. Juga membawa plaster seperti pesan Erza.

Benar saja, Erza sudah disana dengan senyumnya yang lebar luar biasa, juga  wajahnya yang babak belur.

Meskipun sudah sering tahu Erza pangkal keributan nyatanya hati Jian masih selalu lemah. Ya siapa juga yang akan terbiasa dengan pemandangan tak mengenakkan, melihat orang terdekatnya compang camping babak belur begitu.

Jian telah berada didepan Erza, lututnya yang sudah gemetar sedari tadi kini jadi kian melemas. Jian tak bisa berdiri lagi, berjongkok didepan Erza.

"Astaga.. " kesal Erza menghela nafas penuh kemarahan. Marahnya Erza bukan tertuju pada Jian. Tapi pada kebodohannya.

Kenapa juga dia menyuruh Jian datang tepat setelah pemuda itu selesai tawuran.

Perihal kedatangan Erza kesekolah pagi tadi adalah mengisi energi. Istilah konyol yang Erza gunakan saat ia akan pergi tawuran. Pemuda itu selalu menyempatkan datang melihat Jian. Toh berjaga kalau itu hari terakhirnya Erza jadi merasa tak keberatan karena sudah bertemu Jian. Ya begitulah Erza, kolot.

Erza ikutan berjongkok, menenangkan Jian. Berulang mulutnya berbicara meminta maaf. Maaf untuk kesalahan membuat Jian khawatir terhadapnya.

"Jian... maaf. Gue nggak apa-apa.. sumpah ini sehat sehat aja.. cuma penyok dikit..gue nggak kenapa-napa" terang Erza berulang yang hanya mendapati Jian masih terus menangis berjongkok disana.

Disinilah hubungan Erza dan Jian. Tak terjelaskan.

Sahabat dekat ? Bukan juga sih. Nyatanya selalu ada perasaan khawatir di hati Jian untuk Erza, selalu ada rindu Jian untuk Erza tiap kali pemuda itu tak datang ke sekolah.

Dan Erza, tak perlu ditanya soal bagaimana dia terhadap Jian.

Sudah dengan drama menangisnya tadi, kini Erza dan Jian saling diam diteras rumah Alga.

"Mana ?" Tagih Erza menengadahkan tangan, meminta plester pesanannya.

Jian mengeluarkan plester itu, dengan Erza yang sudah memajukan pipi kanan. Pipi yang sudah babak belur luar biasa, juga hampir seluruh wajahnya jadi tampak bengkak.

Jian mulai membuka plester, memasang perlahan pada pipi Erza. Sebetulnya Erza tak butuh hal semacam ini. Toh percuma hari ini di plester kalau lusanya tawuran lagi.

Alih alih butuh plester nyatanya yang dibutuhkan Erza bukan itu. Tapi Jian-nya. Kedatangan Jian yang ia butuhkan.

📍📍📍

a/n :

Ternyata perempuan di indonesia lebih suka tipe badboymaterial semacam kak Erza. Tim suksesnya loyal-loyal. Dibayar apa sama Erza ? Nasi kotak ? ✌

Erza versi nyata, kalau kamu baca cerita ini jangan besar kepala ya.

Btw jangan lupa baca juga The Colour Circle, masukin ke list bacaan kalian- masukin ke perpustakaan.

Tungguin, tungguin kak Taeyong muncul dengan saingan barunya. Saingan yang berat.

Dan tolong cintai juga clan kak Taeyong disana❤

Semoga suka

Rivals - Kwon Hyunbin |END✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang