8. Di Jemput

15.4K 1.6K 43
                                    

           

Usai mandi Sarah mengecek ponselnya yang berada di meja rias kamar Valerie. Malam ini dia sengaja menginap di rumah kakak sepupunya itu dengan alasan ingin mendengar semua cerita tentang dia dan Marki.

Sarah mendapati satu missed call dari nomer tak di kenal dua menit yang lalu. Sarah hampir mengabaikannya ketika sebuah pesan masuk menyembul dari layar ponsel yang sedang ia pegang.

Ini nomer gue, Emir.

Sarah tersenyum dan tak berpikir panjang menekan nomer itu. Tidak sampai lima detik suara Emir telah memenuhi gendang telinganya.

"Sori, Mir, abis mandi." Sapa Sarah.

"Gue ngecek aja kok. Ingatan gue nggak jelek 'kan?"

Sarah terkekeh. "Gue cukup kagum, sih."

"Ya udah, gue Cuma mastiin aja. Barangkali lo masih capek abis acara." sela Emir.

"Biasa aja kok. Lo kali yang capek, buru-buru gitu nganter cincinnya." Masalah cincin masih terus jadi bahasan satu keluarga Sarah. Mengingatnya membuat Valerie hanya bisa meringis sambil menahan perutnya yang masih bergelenyar jika mengingat kejadian itu.

"Santai kok gue."

"E, iya ding, abis ini gue mau makan. Baru inget belom makan. Ya udah, gue tutup, ya? Kalo ada apa-apa WA aja. Nomer lo ini ada WA-nya 'kan?"

"Iya, ada. Oke, makan yang banyak. Bener kata lo, biryaninya enak."

Sarah menutup percakapan dalam sambungan telepon itu dengan kekehan. Sehabis mandi begini rasanya seperti baru terlahir kembali. Badannya cukup pegal-pegal, sih. Di acara tadi dia memang sering mondar-mandir. Lalu harus bergaya-gaya didepan kamera untuk foto keluarga. Perutnya juga lapar karena baru makan kue-kue kecil saja.

Bunyi ponselnya mengurungkan niat Sarah keluar kamar. Alisnya menukik sambil menahan senyum. Perasaan dia sudah bilang pada Emir untuk mengirim WhatsApp aja. Kenapa lagi dia menelpon?

"Kenapa lagi, Mir?" tanpa melihat layar ponselnya lagi, Sarah langsung menyapa.

"Mir? Seinget gue, nama gue belom ganti jadi Amir."

Mata Sarah membelalak. Kenapa malah suara Ghian yang dia dengar? Sarah menjauhkan ponselnya dari telinga, menatap layar ponselnya yang saat ini menampilkan nama 'Ghian Tai'. Dia sengaja mengganti nama Ghian sesaat setelah melihat peristiwa malam itu antara Ghian dan Via.

Mendadak Sarah tergagap. "H-hah?"

"Hoh!" sahut Ghian. Dari suaranya dia terlihat kesal. "Kemana aja sih lo dari kemarin di cariin nggak ada? Gue samper ke kos katanya lo balik ke Jakarta?"

"Iya. Gue balik."

"Kenapa nggak bilang?"

Sarah membuka mulut tapi dua detik setelahnya kembali tertutup. Tanpa sadar tangan kanannya sudah berkacak pinggang.

"Ya, emangnya harus bilang?" rasa kesal telah melihat adegan tidak senonoh sepertinya masih tersisa.

"Kok sewot?"

"Lo 'kan emang suka bikin sewot. Udah, ah. Gue mau makan. Belom makan dari pagi."

"Kenapa belom makan?"

"Soalnya—hih, kenapa kenapa mulu. Chat aja deh, jangan nelpon. Gue lagi sibuk, tau!"

"Chat kemarin-kemarin aja belom lo bales." Sarah merasa tersindir. Suruh siapa ngeselin!

"Chat aja."

"Eh, ngeselin deh lo. Nggak ada angin sama ujan. Nggak bales chat dua hari. Di telpon susah. Sekalinya di telpon ngamuk-ngamuk. Tau-tau ada di Jakarta pula. Gue samperin juga lo kesana!"

How Does It FeelWhere stories live. Discover now