31. Jawaban

10.3K 1.1K 43
                                    




Puncak gunung menjadi saksi keempat sahabat lama bertemu. Kata-kata saja tak cukup bagaimana menggambarkan keindahan diatas sana. Awan-awan yang selalu ingin Sarah genggam, terasa begitu dekat didepan mata. Begitu nyata sampai rasanya dia tengah berdiri diatasnya.

Semua keringat, rasa lelah serta keluh kesah selama perjalanan terbayar sudah. Tumpah ruah rasanya menjadi satu dengan perasaan membuncah tak terkira. Untuk sekejap, saat-saat seperti ini menciptakan keheningan cukup lama. Memberikan waktu untuk menyelami pikiran masing-masing sambil memandang ke cakrawala.

Kalau orang-orang begitu menyukai indahnya matahari tenggelam dari pantai. Orang-orang itu harus melihat eksotisnya matahari terbit dari atas awan. Sinarnya menghangatkan udara yang dingin. Begitu memabukkan. Membuat orang yang berada diatasnya serasa ingin tetap disana dan tak ingin kembali.

Sarah menyunggingkan sebuah senyuman. Menyelipkan tangannya ke saku celana dan mengambil sebuah kertas dari sana. Perempuan itu mencoret daftar paling terakhir yang dia tulis.

Naik gunung bareng✔️

Kepalanya menoleh, melirik Ghian yang berdiri di ujung sana. Menatap keindahan dari atas. Mata Sarah melihat Ghian juga menyelipkan tangannya dari saku celana. Dengan sumringah, perempuan itu menghampiri.

"Makasih ya, Ghi." Terperanjat dari posisinya melihat Sarah, sebuah senyuman muncul juga dari wajah itu. "Kalo bukan gara-gara paksaan lo. Gue nggak bakal punya cerita kayak gini." Dagunya menunjuk pada matahari yang benar-benar telah terbit. Kemilau sinarnya menyilaukan pandangan mata saat menatapnya.

Mendengar itu Ghian makin mengembangkan senyumnya. "Cuma lo cewek yang harus gue paksa buat nurutin kemauan gue." Sarah hanya membalas dengan kekehan pelan.

Tangannya bersidekap memandang lurus kedepan. Mengikuti Ghian yang beberapa detik lalu juga memandang lurus. Di hirupnya napas panjang, masih dengan senyuman di wajah. Tak menyadari Ghian yang telah memindahkan pandangannya menatap perempuan itu lagi.

Ada sorot mata yang tak dapat di definisikan. Cukup lama Ghian memandang. Menelusuri tiap lekuk wajah yang Sarah miliki. Bertahun-tahun mengenal Sarah, tak banyak perubahan dalam diri perempuan itu. Sifatnya masih sama. Fisiknya hanya berbeda dari segi penampilan seiring dengan dia yang beranjak dewasa.

Sarah disebelahnya masih sama seperti perempuan yang dia kenal lebih dari enam tahun. Ghian memandangi sampai tidak sadar Dion memanggil dirinya. Matahari sudah sepenuhnya terbit. Puas foto-foto, suara Dion terdengar memanggil. Waktunya sarapan dan Dion mengajak turun ke tenda.

"Duluan aja," sahut Ghian. "Gue masih mau disini."

Jawaban Ghian membuat Sarah memalingkan pandangan. "Masih mau disini 'kan, Ghi?"

"Lo masih?" Sarah mengangguk. "Ya, gue juga masih."

Senyum tertahan menghiasi wajah Sarah. Terdengar suara Agatha dari belakang. Sarah menyahut dan melambaikan tangan saat keduanya memutuskan turun terlebih dulu bersama pemandu. Sengaja meninggalkan dua insan di puncak sana yang masih terjerat keindahan awan-awan berjalan.

Sarah memposisikan tubuhnya duduk bersila. Kedua tangannya ia jadikan sebagai penopang dagu. Melihatnya, Ghian ikut duduk. Lutut mereka saling bersentuhan.

"Lagi mikirin apa?" diamnya Ghian lumayan mengganggu Sarah.

Kepala Ghian menoleh. "Lo,"

"Gue?" kening Sarah berkerut. "Gue kenapa?"

"Sebenernya ada yang mau gue tanyain,"

"Lo mau nanya apa?" begitu ditanya, Ghian malam diam. Membuat Sarah geregetan. "Ck, nanya apa, Ghi?"

How Does It FeelWhere stories live. Discover now