21. Sebab egois

7.2K 716 23
                                    

Iqbaal menatap (Namakamu) yang terbaring tidak berdaya. Iqbaal benar-benar menyesal karena tidak mempedulikan (Namakamu) kemarin. Ia benar-benar kacau saat itu. Bayangan tentang kejadian tadi seperti terus menghantui pikirannya.

Untung saja hari ini jalanan tidak macet. Hanya memerlukan waktu 30 menit untuk sampai di Rumah Sakit. Iqbaal bergegas masuk dan mencari ruangan (Namakamu).

Cklek....

"Ale" panggil Teh Ody pelan.

"Teh, (Namakamu) gapapa kan? Anak aku juga baik-baik aja kan?" Iqbaal bertanya to the point.

Teh Ody berdiri dari duduknya. "(Namakamu) gapapa le. Tapi,"

"Kenapa teh?"

"Anak kalian gak selamat" lanjut Teh Ody.

Sudah Iqbaal duga. Sungguh, inilah yang ia takutkan sejak tadi. Iqbaal berusaha menetralkan emosinya, menunggu penjelasan selanjutnya.

"Teteh yang salah, teteh yang nyuruh dia ke rumah tadi. Teteh sama sekali gatau (Namakamu) sendirian karena dia gaada bilang kalo kamu pergi" jelas Teh Ody dengan suaranya yang serak akibat menangis.

"(Namakamu) bilang dia mau berangkat waktu itu. Sekitar setengah jam kemudian ada yang telfon teteh dan ngabarin kalau (Namakamu) kecelakaan" Teh Ody kembali menangis.

Iqbaal segera memeluk dan menenangkan kakak satu satunya itu. Walaupun dirinya sendiri sangat terpukul karena kejadian ini.

"Ini bukan salah Teteh. Tapi ini salah Aku. Aku yang salah teh" lirih Iqbaal.

Iqbaal merasa sangat bersalah. Kini (Namakamu) terbaring lemah karena nya. Karena ego nya. Dan kali ini, nyawa seseorang juga melayang. Iqbaal dan (Namakamu) harus kehilangan anak mereka.

Lagi-lagi Iqbaal menghela napas. Ia benar-benar tidak tau harus mengatakan apa kepada (Namakamu) jika sudah sadar nanti. Yang sangat Iqbaal yakini, (Namakamu) akan benar-benar terpukul karena kejadian ini.

☁☁☁

(Namakamu) mengerjapkan matanya beberapa kali. Mencoba menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya.

"Sayang" panggil Iqbaal pelan.

(Namakamu) masih diam. Mencoba mengingat kejadian tadi.

"Baal," (Namakamu) menggantungkan ucapannya. "Anak kita ngga papa kan?"

Dan Iqbaal sudah menduga bahwa ini adalah pertanyaan pertama (Namakamu).

"Kamu baru aja sadar loh. Ma--"

"Iqbaal aku tanya. Dia gapapa kan?"

Iqbaal terdiam, lalu menggenggam tangan (Namakamu) erat. "Dia gak selamat (Nam). Kecelakaan tadi berakibat fatal buat kamu dan anak kita"

(Namakamu) menggeleng kuat. "Jangan bohongin aku Baal. Dia pasti baik-baik aja kan? Kamu pasti sengaja mau bohongin aku iya kan?"

Iqbaal menundukkan kepalanya. Tidak sanggup melihat (Namakamu) yang akan menangis.

"KAMU BOHONG! ANAK KITA PASTI BAIK-BAIK AJA" bentak (Namakamu) histeris.

Tanpa aba-aba Iqbaal segera memeluk (Namakamu). Sedangkan (Namakamu) tidak memberontak seperti tadi. Ia hanya mampu menangis di dalam dekapan Iqbaal.

"Aku pembunuh Baal. Aku yang bunuh anak kita" lirih (Namakamu).

Iqbaal semakin mengeratkan pelukannya. "Nggak sayang, kamu gak boleh ngomong kaya gitu"

Love [IDR]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora