15 - Most Girls

185 24 1
                                    

Ava menaikkan tudung sweaternya dan bersiap untuk berlari pagi. List favoritnya, "Morning Bell" di Spotify kini sedang mendengungkan lagu lama yang baru didengarnya, "Every Morning" by Sugar Ray. Ia sangat menyukai list buatan user "incubic" ini, karena pemiliknya rajin sekali mengganti daftar lagunya setiap bulan untuk menemani kegiatan pagi para follower-nya. Tak jarang, lagu-lagu yang masuk di daftarnya adalah lagu-lagu yang belum didengar oleh Ava namun ternyata surprisingly good! Banyak dari lagunya bernuansa '80s hingga '90s yang asing di telinga Ava karena ia lahir di sekitar abad ke-20. Incubic-lah yang mengenalkannya ke lagu-lagu milik Beatles, The Cranberries, Green Day, dan lainnya. Tentu saja Ronny juga mengenalkannya ke band-band...

STOP!

Ava menghentikan pikirannya yang melayang ke Dia-Yang-Namanya-Tak-Boleh-Disebut. Mungkin mulai hari ini ia akan menyebutnya dengan nama Voldemort. Ava yakin suatu hari nanti ia akan dapat menyebut nama itu tanpa merasakan apa-apa di hatinya.

Pasti. Nanti, tegasnya dalam hati.

Sambil melakukan pemanasan, rekaman kejadian kemarin muncul otomatis dalam benaknya. Dan seketika perasaan hangat yang asing menjalar di hatinya.

Ava mengingat bagaimana Ellen yang tidak menanyakan apa-apa dan menghormati privasinya ketika melihat Ben mengunjungi apartemennya. Pasti dia bertanya-tanya siapa cowok judes berjas Armani yang sungguh kontras dengan tempat mereka berada. Yet, she didn't ask her anything.

Well, mungkin Ellen tidak sejelek yang gw pikir.

Sambil meregangkan lengannya ke atas, Ava mereka ulang kejadian kemarin. Si kembar dan yang lain bahkan berusaha keras untuk menghibur Ava saat latihan drama dan tidak bertanya apapun, meski mata Ava terlihat bengkak secara jelas karena menangis terlalu lama di depan Bima.

Tiba-tiba Ava memejamkan mata dan menggeram pelan, menyesali kelakuannya kemarin.

Kenapa sih gue bisa nangis di depan Bima???

Lalu dia ingat bagaimana pundak dan kaki Bima kram karena menopang kepalanya saat tidur.

Ava menutup matanya lebih dalam lagi, berusaha agar dia dapat melupakan kejadian itu dari dalam benaknya.

Aargghhhh!!!!!

Ava menggelengkan kepalanya berkali-kali dengan cepat, berusaha menghilangkan pikiran itu dari kepalanya.

Setelah menenangkan hatinya, ia mulai berlari kecil di sekitar apartemen barunya. Meski tidak sebesar rumah dan apartemen milik papanya, apartemen ini memiliki running track yang menjadi done deal bagi Ava untuk membeli salah satu lantainya. Ia sengaja membeli semua unit di seluruh lantai 11 itu atas nama asisten keluarganya, karena ia benci memiliki tetangga dan sederet basa-basi yang harus ia lakukan dengan sesama tetangga.

Ava melihat jam tangannya sambil berlari. Angka masih menunjukkan pukul 5 pagi, semburat matahari masih belum juga muncul, langit pun masih gelap, namun beberapa orang sudah mulai menjalankan aktivitasnya. Beberapa orang dengan seragam apartemen sudah mulai menyapu taman yang dikelilingi running track. Para penjual bubur ayam juga terlihat sudah mulai mendirikan kios di samping pagar apartemen.

Setelah melakukan 5 ronde putaran dengan cepat, Ava memperlambat langkahnya. Dari parkiran, Sinta keluar dari mobil kecil putihnya. Jarang sekali Ava melihat Sinta tanpa make-up lengkap, apalagi tanpa alis seperti sekarang. Ava tahu bahwa bagi Sinta, meski banyak klien menuntutnya untuk bangun pagi-pagi sekali seperti sekarang, she always make some time for brows. Istilah 'pantang keluar tanpa alis' diyakini menjadi prinsip pentingnya.

Lavatera [completed]Where stories live. Discover now