29 - Alien in my own world

154 17 2
                                    

Di sepanjang hidupnya, Ava tidak pernah merasa cocok untuk berada di manapun. Ia tidak bisa beradaptasi dengan grupnya meski ia adalah pemimpinnya, ia juga merasa tak pantas untuk tinggal di rumah besar Papanya. Ia merasa menjadi alien di kehidupnya sendiri.

Ava bersyukur musik bisa membuatnya berguna di dunia ini. Ia senang membuat lagu dan menginspirasi orang lain dengan cara yang lebih indah. Dengan begitu, ia merasa pantas untuk hidup dan menikmati musik, meski harus hidup dengan identitas yang berbeda.

Kini, saat menjadi Tera, Ava menatap cafe di hadapannya dengan diam. Bentuk bangunan itu menyerupai beberapa bangunan kubus berbahan kaca tembus pandang yang digabungkan sedemikian rupa. Tanaman hijau yang menjalar di sekelilingnya membuat cafe tersebut semakin unik dan apik.

Namun bukan itu yang membuat Ava terdiam. Fakta bahwa cafe milik Bima ini memiliki nama "Incubic" membuatnya bertanya-tanya. Kenapa namanya sama persis dengan nama list Spotify yang ia ikuti selama bertahun-tahun ini? Ava bahkan mengangkat sedikit lensa tebal kacamatanya untuk memastikan nama cafe itu.

Ava menyunggingkan senyum kecil.

Sudah hampir pasti bahwa pemilik list Incubic adalah Bima. Bahkan, kini ia tidak bisa membayangkan orang lain yang bisa menjadi pemilik list itu selain Bima.

Menyadari bahwa list Incubic telah menjadi bagian penting dalam mengiringi hidupnya selama ini membuat Ava merasa lebih berhutang budi terhadap Bima, seolah Bima dan pilihan lagunya itu telah mengisi bagian kosong dari seorang keluarga yang menurunkan legasi selera musik legendaris kepadanya.

"Hey, Tera! Masuk!" Bima menyapa Ava dari pintu masuk. Sepertinya ia melihat Ava dari dalam cafe, karena hampir semua dinding cafe itu terbuat dari kaca.

Dari luar pun terlihat seorang pria separuh baya yang sedang berada di balik mesin pembuat kopi, sedang fokus meracik sesuatu.

"Pa, ini Tera. Ter, ini Papaku satu-satunya," ujar Bima mengenalkan.

"Emangnya kamu punya berapa Papa? Ya iyalah satu-satunya," canda pria itu. Lalu ia tersenyum ramah kepada Ava dan menjabat hangat tangannya. "Halo, nama saya Bowo," ujarnya.

"Tera," sapa Ava mengenalkan dirinya.

"Ini Tera yang sering diceritain kamu ya, Bim? Yang suaranya kayak malaika..."

"Pa! Kopi yang buat meja 10 ditunggu!" Bima memotong omongan Papanya. Wajahnya sedikit merona.

Ava masih canggung, tidak tahu harus bereaksi apa, apalagi ketika ia kembali mengingat saat Bima mengutarakan perasaannya di gudang sekolah.

Ava sudah bertekad untuk tidak menggantungkan jawabannya dan segera memberitahu Bima perasaannya. Ia sudah tahu bagaimana rasa sakitnya digantung saat bersama Ronny, dan ia tak ingin Bima merasakan hal yang sama.

Ha! By the way, kini Ava sadar telah berani menyebut nama Ronny meski dalam hati. Ternyata blog tentang patah hati yang pernah ia baca dulu memang benar, waktu adalah obat yang paling ampuh untuk orang patah hati.

"Mau minum apa?" tanya Bima.

"Sprite."

"Heh?"

"Kenapa? Nggak ada?" tanya Ava. Lalu ia beralih ke daftar menu yang diukir di atas kayu-kayu dekat kasir.

"Ng... Kalo lo mau nunggu, gue beliin di warung sebelah," tawar Bima.

"Eh, nggak perlu. Gue jus melon tanpa gula aja. Lagi nggak minum kopi."

"Ok. Ada lagi?" tanya Bima. Ava menggeleng.

Ketika Bima pergi membuatkan minumannya, Ava melihat ponselnya, bertanya dalam hati mengapa teman-temannya belum datang.

Lavatera [completed]Where stories live. Discover now