13. Diary pembawa petaka

2.2K 142 5
                                    

"Pelajaran kali ini Ibu sudahi sampai disini. Ingat, pr-nya dikerjakan di rumah, bukan di sekolah. Kalau dikerjakan di sekolah itu namanya bukan pr, tapi ps. Hahaha."

Ibu Sukma tertawa sumbang, tapi perlahan memelan karena di antara murid tidak ada yang tertawa sama sekali. Malah ada beberapa di antara mereka hanya mengernyitkan dahinya, termasuk Raya yang ada di sampingku. Ibu Sukma ini sebenarnya merupakan salah satu guru yang bisa dibilang tegas, tapi di waktu bersamaan dia bisa juga melucu. Dan entah kenapa guyonan dari Ibu Sukma selalu garing.

Ibu Sukma berdeham dan memberi intruksi kepada ketua kelas untuk menyiapkan. Setelah berdoa dan mengucapkan salam Bu Sukma keluar diikuti bunyi bel yang menggema.

Aku menyiapkan peralatan-peralatan sekolahku dimasukkan ke dalam tas.

"Mon, pulang bareng, yuk." Raya menawari sementara ia masih memasukkan buku ke dalam tasnya.

"Nggak usah, Ray. Aku mau singgah ke mushola dulu."

Raya mengangguk paham, "Yaudah kalau gitu aku duluan, ya."

Aku mengangguk.

Aku sengaja memasukkan barang-barang dengan gerakan yang dibuat pelan sehingga aku bisa yang terakhir keluar dari kelas. Setelah suasana kelas sepi, aku langsung keluar lalu menutup pintu dan menuju mushola yang tak jauh dari parkiran.

Sebenarnya selain untuk ibadah tentunya, aku ke mushola juga untuk menghindari kak Rama. Bisa saja dia menemuiku di dalam kelas saat sendirian dan lalu melakukan tindakan bullynya itu bersama teman-teman sekawanannya. Sebenarnya aku tak yakin jika kak Rama akan datang ke kelas tapi tidak ada yang tahu. Lebih baik sedia payung sebelum hujan daripada harus beli payung dulu di toko saat hujan sudah terjadi. Yang ada malah kehujanan. Dan beli payung pun percuma, saat kembali hujannya sudah reda. Itu cuma perumpamaan.

Lagipula kukira mushola juga satu-satunya tempat yang aman. Di sana orang-orangnya tidak seperti yang biasa kutemukan di koridor yang senantiasa berbisik-bisik setiap aku melewati mereka. Orang-orang yang biasa berada dalam mushola lebih cenderung tidak peduli dengan semua itu. Tujuan mereka pergi disana cuma satu, yaitu sholat. Bukannya membicarakan orang yang justru malah menambah dosanya.

Keadaan mushola saat ini sudah tidak terlalu ramai, karena memang waktu sholat dzuhur sudah dari satu jam yang lalu. Aku melangkah masuk menaruh tasku di belakang pintu dan pergi untuk berwudhu. Setelah berwudhu aku mengambil talaqo yang memang sudah disediakan di dalam mushola lalu sholat.

Selesai sholat dan berdoa, aku lalu membuka dan melipat talaqo yang kugunakan tadi.

"Hai."

Aku menoleh. Mendapati seorang perempuan, dia mungkin sudah melepas talaqonya, rambutnya tergerai sepundak dan memakai bando berwarna pink. Aku belum pernah melihatnya, mungkin karena aku juga jarang keluar kelas. Dia tersenyum padaku.

"Eh, hai."

"Kau Mona, kan?"

Aku sedikit terkejut ia tahu namaku.

"Iya."

Ia menjulurkan satu tangannya, "kenalin, aku Susan."

Aku menerima jabatan tangannya, "Susanti?"

Dia terkekeh, "bukan, Susan aja."

"Oh."

Dia tersenyum padaku, aneh. Seperti ada yang ia teliti.

"Mau kuberi tau sebuah rahasia?"

Aku mengernyit, tapi lantas penasaran, "Apa?"

Dia mendekat, lalu berbisik dengan pelan, "Aku bukan manusia."

Aku terkejut lantas segera menjauhkan mukaku darinya. Aku menoleh ke sekeliling, mereka seakan sibuk sendiri dengan urusannya masing-masing. Lalu aku menoleh padanya, dia kembali tersenyum, lebih lebar dari sebelumnya. Aku jadi bergidik. Tapi aku kembali mengernyit saat dia tiba-tiba tertawa sangat keras bahkan sampai ditegur oleh beberapa murid yang sedang mengaji. Ia memelankan tawanya lalu meminta maaf pada orang itu. Dia kemudian menoleh padaku.

"Kau percaya kalau aku bukan manusia? Lalu apa, hantu? Mana ada hantu di siang bolong seperti ini. Lagipula mana ada hantu semanis aku."

"Ada." Aku menukas.

"Siapa?"

"Si manis jembatan ancol."

Dia berpikir sejenak, "Iya juga, sih. Tapi aku memang manusia. Bukan hantu atau alien."

Aku mengangguk ragu. Dari ujung manapun dia memang tidak terlihat seperti hantu.

"Aku sering melihatmu." Katanya bersemangat.

"Dimana?"

"Di sekolah ini. Tapi mungkin kau tidak melihatku."

Nadanya perlahan tak bersemangat saat kalimat yang terakhir. Emosi perempuan ini berubah.

Aku heran. Bahasa yang digunakan sedikit kaku. Memangnya masih ada di tahun 2018 ini yang berbicara seperti dia? Sebenarnya darimana asalnya perempuan yang sekarang berada di depanku ini.

"Iya. Aku emang jarang keluar kelas. Dan gak terlalu merhatiin orang-orang."

Ia lalu mengangguk paham. Dan melirik arloji yang ada di pergelangan tangannya.

"Baiklah, aku duluan ya. Lain kali kita akan bertemu lagi."

Ia langsung melesat pergi setelah mengambil tasnya. Aku pun kembali melipat talaqo yang tadi sempat terhenti lalu mengembalikan di tempatnya. Setelah itu aku mengambil tas dan pergi keluar untuk memakai sepatu.

"Ternyata lo disini. Daritadi gue cari-cari."

Aku mendongak mendapati kak Rama. Tubuhku meneganh. Sial. Kenapa bisa kak Rama menemukanku disini. Kukira dia sudah pulang daritadi.

"Aku minta maaf, kak. Yang tadi itu bener-bener gak sengaja. Jangan bully aku, kak. Aku minta maaf. Beneran kak--"

"Siapa yang mau ngebully lo? Gue cuma mau ngembaliin ini. Ini punya lo, kan?"

Aku melihat apa yang ia sodorkan di tangannya. Itu buku diaryku. Bagaimana bisa ada sama kak Rama? Astaga. Aku baru ingat. Tapi di perpustakaan aku membawanya dan kutaruh di atas meja dan terlupa untuk mengambil kembali. Semoga saja kak Rama tidak membacanya. Aku langsung mengambil buku diary itu dengan cepat.

Kulihat kak Rama tersenyum, "Tenang, rahasia lo aman di tangan gue."

Seketika rasanya aku ingin meluncur di laut.

Tbc...

Ig : @imasrezki_

Monaraya [SEGERA TERBIT]Where stories live. Discover now