1: Monochrome

776 42 34
                                    

schatzee

Siang itu Park Jimin datang lagi ke tempatku. Ia karya terindah yang selalu hadir tanpa diminta. Objek lukis paling berharga. Tersorot cahaya mentari di pekarangan rumah, bersatu padu dengan rerumputan tinggi, dinaungi cakrawala penuh awan berarak, serta sebuah kanvas dan alat-alat lukis. Paripurna sudah.

Jimin tidur telentang di teras rumah beralas kayu. Kepalanya menengadah, membuat beberapa anak rambut tersapu angin. Ia sungguh representatif kalau boleh dikata.

"Kau masih suka sesuatu yang akromatik?" Jimin bertanya seraya melirik ke arahku. Tuhan, tolong jangan jadikan percakapan ini semakin krusial sebab tatapan menghanyutkannya.

Aku merespons dengan anggukan. "Itulah mengapa aku senang kau kemari."

Jimin menoleh ke arah lain, lalu menghidu aroma terik musim panas. Wajahnya berseri tak kenal ampun, bahkan ramalanku menuturkan, ia akan terus merekah hingga malam menyingsing.

"Dirimu sungguh adiwarna, Park Jimin," aku mengakui. "Karya terindah sepanjang masa."

"Bukan aku," sanggah si pemuda. Ia melipat lengan kausnya lebih tinggi, "tetapi ada pada diriku. Lihat ini. Cantik, bukan?"

Aku menyaksikannya dengan saksama, sedikit membulatkan mata. Goresan-goresan vertikal teratur menuruni lengan pemuda itu. Ia sinting.

"Ini seni ... untuk menutupi kelam. Memanipulasi kegelapan." Jimin menghela napas berat. "Untuk membuat tipu muslihat."

Aku termenung sejenak. Jimin tidak salah. Setiap orang butuh pelampiasan, media untuk melebur. Hanya saja wadah kami berbeda dan untungnya hal tersebut tak menciptakan perpecahan, justru kolaborasi yang sempurna. Kekuatan serta karya kami selaras. Keindahan yang berlangsung tanpa batas. Amerta.

"Hei, kau ingin mencoba sesuatu yang baru?" Jimin mengubah posisinya menjadi duduk, mendekatiku—lukisanku.

"Apa itu?"

Senyuman dari bibir seksi milik Jimin merekah, menampakkan tumpukan lemak di sekitar area mata; sipit hingga terlihat menghilang.

"Sebentar."

Jimin masuk ke dalam rumah. Beberapa menit aku menunggu, tak lama. Pemuda itu memanfaatkan masa dengan benar.

Park Jimin. Ia kembali ke sisiku lagi. Namun, kali ini dengan sayatan baru di lengan kiri. Lelaki tersebut mengarahkan lengannya ke atas kanvas, meneteskan darah merah pekat di sana.

Jimin mendekat. Deru napasnya terdengar jelas di telingaku. Ia berbisik, "Sesekali, karyamu harus berwarna."

Aku mengulas senyum tipis. Idenya boleh juga.

Hipnotisme Jiwa ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang