point 4:

2.5K 306 30
                                    


Sepasang mata tiba-tiba muncul di depannya.

Apa yang Jimin lihat—gelap, sejauh pandangannya dapat menjangkau, hanya kilatan mata asing itu yang mengganggu. Satu dua kerjapan yang ia lakukan, tak berbalas.

Kerutan hadir di perpotongan alis, Jimin memperhatikan sorot di seberang perlahan mundur, menjauh. Seberkas sinar datang, diikuti bunyi gemuruh pertanda petir menyambar. Tenggorokannya seketika terasa kelu.

Sekilas, Jimin melihat sebentuk tubuh mungil dengan pakaian penuh jelaga. Wajah anak itu masih sama seperti yang terakhir ia lihat; tegang, penuh ketakutan, dengan darah mengalir di dahi. Melintasi sebagian wajah. Lewat di hidung kecil, pipi bulat berlemak dan terus turun pelan-pelan.

Sekali lagi petir menyambar. Tersedak, Jimin sadar dari keterdiamannya berbalas pandang dengan seraut wajah merah. Pun penuh sorot hampa di mata.

Kedua telapak tangan yang terbuka ia pandang lekat, Jimin ngeri dengan kenyataan bahwa tangannya dilumuri likuid kental berwarna merah gelap. Seketika hidung mencium bau karat yang pekat, Jimin terkesiap saat seraut wajah tanpa dosa yang tadi berjarak tahu-tahu sudah dekat.

Bocah itu menangkup rahang Jimin dengan kedua telapak tangannya yang mungil. Mengusap lelehan yang mengaliri pipi Jimin sambil terus bergumam tanpa suara. Gerak bibirnya terbaca; “tolong”.

Pada petir berikutnya, Jimin melihat bekas kemerahan di telapak tangan itu. Yang baru saja menyentuh wajahnya. Seketika hati mencelos.

Jimin memejamkan mata, ingin melarikan diri. Dari kondisi ini, dari ingatan yang tak lekang, dari semuanya. Tangan mengepal, memukul rusuk di atas jantung yang berdenyut gila-gilaan. Jenis debaran yang membuat perasaan kosong dan air mata membanjir keluar. Pundak sempitnya bergetar seiring tangis, menahan degukan tanpa suara.

Sebuah kata malah terdengar olehnya yang tengah menundukkan kepala.

"Tolong...."

...

Begitu membuka mata, yang Jimin lihat adalah kain kelabu bergerak naik-turun teratur. Ia meraup napas penuh rasa syukur.

Pinggang pria di depannya ia rengkuh, menenggelamkan penghidu pada aroma musk pekat yang menghantarkan rasa aman. Jimin mengais kehangatan dari pelukan longgar, merasai lengan Taehyung di bawah lehernya, tersampir di pinggangnya, dengan sebelah kaki menimpa kakinya sendiri.

Tidak apa-apa, tidak ada apa-apa. Jimin mengusakkan hidung pada kaus yang melapisi tubuh suaminya. Hanya ada Taehyung, itu cuma mimpi.

Ia akan baik-baik saja.

...

Selang beberapa waktu, setelah degup jantungnya mereda—stabil dan air mata tidak lagi mengalir, Jimin bangkit dari ranjang dengan hati-hati.

Senyum kecil hadir kala sepeninggalnya, Taehyung jatuh menelungkup lalu mengusakkan penghidu ke spasi bekas Jimin beranjak dengan wajah berkerut yang begitu lucu. Kalau tidak ingat jika ini masih dini hari, ia pasti sudah tergelak. Dan memotret Taehyung untuk koleksi pribadi.

Omong-omong, Jimin lupa dimana ponselnya terletak. Di nakas hanya ada ponsel dan kacamata Taehyung, bekas dia meninjau e-mail setelah kegiatan rutin yang mereka lakukan. Sebenarnya mereka sudah sepakat untuk mengurangi intensitas, karena Jimin harus fokus pada skripsinya.

Semalam Taehyung lembur mendadak, sekitar pukul 12 dia sampai di griya tawang dan suaminya tidak ada di kamar. Selepas membersihkan diri, Jimin dijemput dari ruang kerja mereka untuk diberi “hukuman”. Itu karena Jimin sudah melanggar permintaannya untuk tidak ditunggu.

grund [VMIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang