Pendidikan Agama yang Inklusif Sebagai Solusi Konflik Sosial-Kemasyarakatan

214 6 0
                                    


Salah satu topik menarik untuk terus-menerus dikaji berkaitan dengan perubahan masyarakat adalah tema pluralisme. Pluralisme adalah pengakuan atas perbedaan, dan perbedaan itu sesungguhnya sunnatullah dan merupakan sesuatu yang nyata serta tidak bisa dipungkiri. Penolakan terhadap pluralisme yang sunnatullah itu menimbulkan ketegangan dan bahkan konflik, karena meniadakan sesuatu yang nyata merupakan pengingkaran terhadap kehendak Allah. Pluralisme pada tujuannya tidak sebatas menghendaki pengakuan atas keperbedaan itu, melainkan juga penghormatan atas kenyataan perbedaan. Untuk itu, sudah seharusnya diakui dengan jujur bahwa masyarakat Indonesia memang berbeda-beda dan karenanya segala perbedaan itu untuk dihormati. Kalau sikap seperti ini bisa dilakukan maka tidak mungkin ada ketegangan yang berujung pada konflik. Konflik dapat terjadi karena terdapat ketegangan yang mungkin disebabkan karena pengalaman-pengalaman diskriminasi, ketidakadilan atau kesalah pahaman yang berkaitan dengan status yang tidak sah dalam masayarakat. Sehingga terjadi pemaksaan keinginan antara satu bagian dengan bagian lainnya, dan masing-masing ingin mendapatkan lebih dari yang seharusnya didapatkan.

Agama memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial, sebab agama sendiri merupakan realitas sosial dalam konteks konstruksi pada pemeluknya. Meskipun secara ontologis bersumber dari realitas yang tunggal, namun yang terlihat pada perkembangan selanjutnya adalah agama menjadi semacam gejala psikologis, kultural dan identitas sosial.

Pluralisme agama merupakan satu wilayah yang sering dijadikan isu yang aktual hingga saat ini. Hal ini terlihat dengan banyaknya tulisan yang membahas mengenai persoalan serupa. Mengingat barangkali pluralisme merupakan suatu keniscayaan, terbukti dengan keadaan masyarakat kita bukanlah masyarakat yang hanya menganut satu agama saja. Dengan demikian, spirit pluralisme agama dapat terbentuk melalui realitas tersebut. Realitas tersebut dapat kita lihat dalam suatu negara dimana semakin sulitnya menemukan sebuah negara yang memiliki masyarakat yang seragam (uniform). Agama merupakan faktor penggerak yang memotivasi manusia untuk melakukan berbagai perilaku dan pemikiran yang akan berbeda antara satu dengan yang lain. Perbedaan tersebut terjadi karena pada fitrahnya manusia memiliki perbedaan dalam sebuah pemikiran.

Pluralitas agama telah menjadi bagian dari apa artinya menjadi penduduk Indonesia. Sehingga sebenarnya bukan fenomena baru bagi bangsa Indonesia. Selama masa orde baru saja, secara de jure diakui oleh pemerintah eksistensi lima agama dan puluhan bahkan mungkin ratusan aliran kepercayaan. Setiap penduduk Indonesia menghadapi kenyataan pluralitas agama ini di dalam kehidupan keseharian. Bertetangga, bekerja, dan bersekolah dengan orang yang berlainan agama adalah suatu kenyataan yang dengan mudah ditemui di dalam kehidupan sehari-hari.

Pluralitas agama juga menyimpan potensi sekaligus bahaya tersendiri. Kemajemukan agama itu bisa menjadi potensi yang kuat, apabila kemajemukan tersebut dihargai dan diterima dengan bijaksana oleh segenap unsur masyarakat yang ada. Apabila hal ini terjadi, maka akan terbentuk sebuah mozaik kehidupan yang indah dan enak untuk dinikmati. Di sisi lain, kemajemukan itu sendiri menyimpan potensi untuk menimbulkan masalah yang besar. Perbedaan-perbedaan ajaran agama, apabila tidak ditanggapi dengan bijaksana, maka dapat memicu sebuah pertikaian yang mendalam dan meluas. Tampaknya itu yang sedang terjadi pada saat ini.

Tulisan ini akan mencoba menganalisis praktik pluralisme agama dalam mengatasi konflik sosial-kemasyarakatan saat ini serta mencoba mencari bentuk tawaran solusi lain di tengah pluralitas agama yang terjadi. Ini adalah tantangan kita bersama karena dinamika relasi antar agama terus berkembang sampai sekarang. Sehingga bagaimana yang bisa dilakukan untuk meredam konflik tersebut?

-----

Syafa'atun Elmirzanah, Pluralisme Konflik Dan Perdamaian: Studi Bersama Antar-Iman, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 10.

Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural: Konsep dan Aplikasi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hlm. 154.

Liza Wahyuninto dan Abdul Qadir Muslim, Memburu Akar Pluralisme Agama: Mencari Isyarat-Isyarat Pluralisme Agama dalam Al-Qur'an Dan Pelbagai Persfektif, (Malang: UIN Malang Press, 2010), hlm. 24.

Abdul Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al- Qur'ān, (Depok: Katakita, 2009), hlm. 2.

Victor I. Tanja, Pluralisme Dan Problema Sosial: Diskursus Teologi Tentang Isu-Isu Kontemporer, (Jakarta: Cidesindo, 1998), hlm. 19.

De jure (dalam bahasa Latin Klasik : de iure) adalah ungkapan yang berarti "berdasarkan (atau menurut) hukum", yang dibedakan dengan de facto, yang berarti "pada kenyataannya (fakta)". (https://id.wikipedia.org/wiki/De_jure)

Untuk mendapatkan riwayat agama-agama dan aneka kepercayaan di Indonesia, perhatikan apa yang ditulis oleh Robert Hardawinarya, Dialog Umat Kristiani dengan Umat Pluri-Agama/-Kepercayaan di Nusantara (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 27-45.

APA KABAR INDONESIA ✔Where stories live. Discover now