Jeon Jung Kook menekan bagian dalam pipi dengan lidah. Ia memandang Ji Min yang melesatkan tatapan skeptis. Seperti anak panah yang dilontarkan dari busur. Begitu tajam. Tandanya, Ji Min tidak ingin Jung Kook menghindari pertanyaan.
"Ah, makan siang kita jadi berantakan." Jung Kook meraih kunci mobil yang ia letakkan di meja. "Sebenarnya, aku ada janji dengan teman sekolahku."
"I need you more, Mr. Jeon." Ji Min mendecak lidah.
"Bagaimana kalau kita mengobrol di luar? Aku sudah tidak nyaman di sini." Jung Kook beranjak dari kursi, mengabaikan pandangan Ji Min yang kesal dengan berlalu tak acuh keluar restoran.
*
Sungai Han malam hari tampak warna-warni diterangi lampu yang indah di sepanjang jembatan dan kanal. Kapal pesiar yang melintas terdengar riuh, bertemu dengan celotehan pengunjung. Mengamati pemandangan sungai di balik birai pembatas, Jung Kook menunggu Ji Min melangkah mendekat. Mata Ji Min yang semula mengarah ke sahabatnya berpindah menyelisik keadaan sekitar.
"Tae tidak bersalah," Jung Kook membuka suara. "Kau tahu kan kalau dia selalu menempatkan dirinya di sepatuku."
Ji Min menyusupkan telapak tangan pada saku, lantas melangkah mendekati Jung Kook. Ia mengamati Jung Kook dalam kebisuan, memberikan kesempatan cowok itu untuk bercerita.
"Dia terlalu loyal," lanjut Jung Kook. "Aku yang menyebabkan kebakaran itu."
Mendengar kalimat terakhir Jung Kook, bola mata Ji Min melebar. "Mwo?"
"Semuanya ulahku. Aku terlalu takut dan panik sampai tega meninggalkan Tae Ri. Aku...." Jung Kook terkekeh. Ia menekan bagian dalam pipinya dengan lidah, sebelum memandang Ji Min yang masih terkejut, "yang melakukannya. Dan menyalahkan Tae Hyung atas kejadian itu."
"Yah, Jung Kook-ah. Kau gila?"
"Aku memang gila." Ekspresi Jung Kook berubah lebih serius. "Aku superior. Orang-orang berekspektasi tinggi padaku. Mereka menganggapku sempurna. Aku membenci kecacatan dan kesalahan." Nadanya merendah beberapa oktaf. Seperti desau peluru di udara.
Setelah bertahun-tahun hidup sebagai sepupunya, baru kali ini Ji Min melihat tatapan Jung Kook seperti sekarang. Dingin dan diselimuti dinding misteri. Di balik wajahnya yang kalem, Jung Kook benar-benar tak bisa dibaca. Ia seperti psikopat bertopeng kelinci.
"Kau tidak seharusnya melakukan hal itu." Ji Min meninggikan nada. "Tae Hyung sahabatmu dan kau menyudutkan dia, menjadikannya tersangka. Kau benar-benar tidak waras." Ji Min mengusap dagu, melayangkan tatapan intimidatif.
"Désolé (maaf)."
"Maaf saja tidak cukup. Kau pikir, Tae Hyung bisa melalui kehidupannya dengan mudah? Dia pasti tersiksa selama bertahun-tahun. Aku tidak kaget kalau sekarang dia sangat membencimu. Aaah. Jinjja." Menggeram kesal, Ji Min meremas rambut gemas. Ia tak mungkin meminta Jung Kook menjelaskan kejadian yang sudah berlalu bertahun-tahun pada orang tuanya, apalagi bila kasus itu dibuka kembali. Meskipun Jung Kook jujur, keluarga Jeon tak akan sudi membuka kasus tersebut dan memilih bungkam. "Kau harus minta maaf dan menebus kesalahanmu pada Tae Hyung."
Jung Kook memandang sungai. Angin malam menerbangkan beberapa helai rambut hitamnya. Cowok itu diam seribu bahasa.
"Aku hanya tidak ingin membuat noktah." Sebelah alisnya terangkat. "Noktah sekecil apa pun membuatku sangat gatal dan gelisah. Aku tak mau siapa pun melihat kesalahan dalam diriku. Apakah itu salah?" Jung Kook menoleh. "Saat ada kesalahan, rasanya... aku seperti ingin menghancurkannya. Aku tidak bisa hidup seperti itu, Christian. Bahkan jika mengorbankan teman itu perlu, aku akan melakukannya demi menutupi noktah tersebut. Désolé." Tanpa memberi kata penutup, Jung Kook berlalu meninggalkan birai pembatas.

KAMU SEDANG MEMBACA
STIGMA - When A Bad Boy Breaks My (Heart) Camera (DAILY UPDATE)
Fiksi PenggemarMin Yo Ra mencari uang dengan menjadi fotografer rahasia yang mengumpulkan foto-foto skandal selebriti maupun orang-orang penting di Seoul. Valentine Day yang seharusnya menjadi hari spesial malah menjadi hari tersialnya ketika tanpa sengaja, ia mem...