Part 19

48 6 0
                                    

"bukan tak mau pergi, hanya saja hati ini masih enggan beranjak darimu..."

***

Hari kian berganti, waktu terus berjalan. Seminggu sudah hari-hari Sagit jalani tanpa adanya panggilan 'babe' dari Sigit, tanpa adanya chat yang hanya sekedar mengajaknya mabar (main bareng) atau menyuruhnya menonton streamingnya. Jujur, itu sangat berat ia jalani. Ia merasa sangat kehilangan, meski Sean selalu mengajaknya main, tetap saja hanya dengan Sigit yang membuatnya semangat bermain. Jika dulu, waktu ia main bareng Sigit...

Sigit lagi...?

Stop Git, jangan pikirin dia lagi. Lupain, dia udah ada pacar. Rutuknya dalam hati mencoba tersadar kembali dan jangan terus-menerus bernostalgia tentangnya. Bahaya jika ia terus menerus memikirkannnya, bisa-bisa ia semakin sulit untuk melupakannya.

Huft

Sagit menghela nafas, berusaha mengusir pikirannya tentang Sigit. Ia tak boleh terus seperti ini, ia harus segera melupakannya. Dengan langkah gontai ia menyusuri koridor sekolahnya yang mulai sepi, bukan mulai tapi emang sepi banget. Tak biasanya dijam segini koridor sepi, memang sih ini sudah waktunya pulang, tapi biasanya ada siswa yang berlalu lalang untuk sekedar mengerjakan tugas atau mengikuti ekstrakulikuler. Langkahnya terhenti kala ia mendengar suara bising dari arah gedung olahraga, disana tampaknya ramai sekali. Apa mungkin semua orang berada disana sekarang?

Benar saja, semua orang berada digedung ini. Ternyata ada pertandingan basket. Pantas saja semua orang tampak antusias, tapi apa ini pertandingan ini begitu spesial sehingga membuat gedung ini penuh? Sagit mengangkat bahunya, acuh. Untuk apa dirinya peduli? Ketika ia akan kembali keluar, seseorang memanggilnya.

"Sagit!" ia menengadahkan kepalanya ke sekeliling untuk mencari sumber suara, matanya menangkap sosok Nana dan Aid yang berdiri dekat dengan lapangan. "sini." ucapnya lagi sambil melambaikan tangan menyuruhnya untuk menghampirinya.

"Git, lo liat, Sean dan Sigit lagi one by one." kata Nana, dan pandangannya beralih ke arah lapangan basket, benar saja disana terdapat Sigit dan Sean yang tengah bermain. Tampak Sean yang tengah merebut bola dari Sigit, namun lagi-lagi ia gagal karena Sigit berhasil melambungkan bola tinggi kemudian ia meraihnya kembali dan memasukannya kedalam keranjang dan berhasil mencetak poin.

"yeah!" gumamnya, diam-diam ia terlonjak senang melihat Sigit berhasil mencetak poin. Ketika semua teman-temannya mendesah kecewa karena Sean gagal merebut bola, Sagit satu-satunya orang yang mendukung Sigit, bahkan Aid dan Nana melirik Sagit bingung, seharusnya ia kecewa juga karena dari sekolah mereka sudah tercium bau-bau kekalahan. Namun ekspresinya terlihat senang melihat Sigit mencetak poin lagi.

Sagit tersenyum menanggapi tatapan yang dilontarkan kedua temannya itu, namun Aid dan Nana seolah meminta kejelasan tentang hal ini.

Waktu tersisa tinggal beberapa menit lagi, dan Sean kalah beberapa poin dari Sigit. Terlihat Sean mulai bermain kasar, ia sepertinya tak terima jika dikalahkan seperti ini oleh Sigit. Semua teriakan penonton menggema menyemangati Sean.

"Sean semangat..."

"semangat Sean..."

"ayo, lo bisa!"

"Semangat Git!!!" teriaknya tanpa sadar yang berhasil membuat Sigit dan Sean yang fokus bermain jadi mengalihkan pandangannya pada suara tersebut berasal, suara yang sangat familiar bagi mereka dan mata mereka menangkap sosok Sagit yang terus berucap semangat, dan pandangannya menatap Sigit. Ia tersenyum karena Sagit menatap ke arahnya, entah kenapa itu membuat semangat Sigit makin meluap, berbeda dengan Sean yang tampak emosi melihat semuanya.

Mereka kembali bermain, namun permainan semakin panas karena Sean tampak brutal kali ini, emosinya semakin meluap yang membuat Sigit agak kewalahan menghadapinya. Ia mendengus kala Sean mencetak poin dan hampir mengalahkannya. Namun suara peluit tanda permainan telah berakhir membuat Sigit tersenyum senang karena ia sekali lagi berhasil mengalahkan Sean.

"wohoo..." ia berjingkrak senang sambil tersenyum ke arah Sagit, dan tentu saja Sagit pun balas tersenyum kepadanya.

"logika terus mendorongku untuk menjauh darimu, tapi hatiku berkata lain, justru aku lagi-lagi kembali mendukungmu, menatapmu dan tersenyum ke arahmu, Benedith Sigit Weggin."

***

Sean menatap Sigit dengan sinis, kali ini ia mengaku kalah dan takkan meragukan kemampuannya lagi, Sigit benar-benar punya taktik yang membuatnya lelah menghadapinya.

Dilapang mungkin dia kalah, tapi apakah di Arena Mobile Legends ia akan kalah juga?

"gimana? Lo masih meragukan kemampuan gue?" Sigit bertanya karena Sean terus saja menatapnya, bukan apa-apa hanya saja ia sedikit risih kalau Sean sudah menatapnya seperti itu. Ia takut kalau lawannya itu diam-diam baca mantra supaya dia gak bisa main basket lagi. Oke, imajinasi Sigit terlalu tinggi, jika dia ingin dirinya gak bisa maen basket lagi, maka sudah dipastikan kalau ia akan dibuat seperti Datta, tapi ini tidak. Jadi ia harus segera mengonfirmasikan ini terlebih dahulu.

"gue ngaku kalah." Jawabnya, Sigit tersenyum smirk mendegar pengakuan Sean, namun ekspresinya kembali datar kala Sean berkata lagi, "tapi, gue mau ngajak lo one by one lagi di Arena Mobile Legends!"

Sigit tersenyum senang mendengar hal itu, tentu saja ia akan dengan senang hati menerimanya. Dan lagi-lagi Sean memilih tantangan yang benar-benar ia sangat kuasai. Mungkin saja ia lebih hebat di game online tersebut daripada dilapang?

"oke, siapa takut?" jawabnya mantap. Iyalah, tak ada keraguan, orang itu hobi dia juga.




















***
Tbc

Bentar lagi pertandingan ML nih? 😂 btw, siapa yg bakal menang nih kali ini?

SEAN?

SIGIT?

Oke, gimana author aja ya. 😅

Sagit & SigitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang