Empat

2.7K 20 0
                                    

Sepanjang waktu saat ia telah mengenal Jane, Rian tahu bahwa perempuan itu terkadang dapat melihat lebih banyak hal tentangnya dibanding dirinya sendiri.

Diam-diam Rian mengangumi kemampuan Jane untuk mengerti dan memahami dirinya lebih dari siapapun.

Namun, alih-alih menunjukkan kekagumannya, sikap Rian yang dingin dan kaku terkadang malah mencerminkan sebaliknya.

Rian merasa beruntung karena Jane bahkan menyadari hal itu dan tidak pernah mempermasalahkannya.

“Berhubung ini sudah larut dan hujan sepertinya akan turun sebentar lagi, aku hanya akan mengatakan dua hal padamu lalu kembali masuk ke dalam.”

Rian hanya bergeming, masih menyaksikan punggung Jane yang tertutup rambut panjangnya terurai berantakan dihempas angin, menunggu gadis itu menyelesaikan perkataannya.

“Pertama, kamu tidak perlu mencemaskan soal besok, atau seminggu setelah besok, atau bahkan sepuluh tahun setelah besok. Hidup akan terus berjalan dan kecemasan tidak akan mengubah apa-apa. Keputusan sudah dipilih. Yakinlah itu yang terbaik. Sisanya, biarkan apapun yang terjadi nanti menjadi urusan nanti. Kita hanya perlu menikmati hari ini. Kemarilah, kamu perlu melihat betapa menyenangkannya melihat kota Bandung dari sudut pandang yang berbeda.”

Jane mengulurkan tangannya pada Rian yang langsung disambut beberapa saat kemudian. Perlahan kehangatan menjalar di antara kedua tangan yang dingin itu.

“Bukankah kita sangat suka berjalan-jalan memutari kota di malam hari karena gemerlapnya yang menyenangkan? Aku tak pernah mengira bahwa melihatnya dari atas sini ternyata malah jauh lebih menyenangkan. Benar, kan?”

Rian mengangguk setuju. Ia tahu ada pesan tersirat yang disisipkan Jane dalam perkataannya.

“Satu hal lagi, yang ke dua, aku sangat berharap kamu tidak terkena flu besok pagi dan membawa serbet ke atas altar. Kumohon, jangan berlama-lama berada di atas sini.”

Jane tertawa mendengar perkataannya sendiri. Namun alih-alih tertawa, Rian menatap perempuan itu dalam diam yang hampir saja membuat Jane keheranan.

Keheningan kembali berada di tengah-tengah mereka.

“Baiklah, mari kita masuk.”

Keduanya lalu terdiam dalam beberapa detik yang terasa sangat lama.

Di antara kecanggungan itu, Jane melangkahkan kakinya menjauh dari Rian, menuju ke arah pintu.

Langkah itu terhenti tepat sebelum tautan jemari mereka terputus. Rian kembali menarik Jane mendekat padanya.

Kemudian, ia mendekap tubuh perempuan itu erat-erat.

“Aku mencintaimu, Jane.” Bisiknya pada bibir yang menempel di daun telinga Jane.

“Aku juga mencintaimu.”

Sebuah kecupan dilayangkan pada kening Jane yang berkerut menahan tangis.

Di saat yang bersamaan, tetes-tetes air dari atas langit pun mulai turun.

MENIKAHWhere stories live. Discover now