Lima

3.2K 28 5
                                    

Bunga-bunga mawar putih menghiasi setiap sudut kursi dari belakang hingga ke depan altar yang terbuka. Bunga-bunga itu tampak sederhana, namun meninggalkan kesan yang elegan, menyatu dengan pemandangan alami yang disediakan alam pada hari itu. Cuaca yang cerah, pasir putih yang cantik, dan suara ombak yang terpecah di pinggir pantai.

Tentu saja Rian bisa menyewa gedung yang lebih besar daripada hanya sekadar tempat sederhana di pinggir pantai, namun tentu saja seluruh konsep ini sudah dipikirkan matang-matang olehnya. Lagipula, Jane setuju dengan konsep kesederhanaan itu. Pernikahan tidak melulu harus berkonsep mewah.

Rian memakai pakaian serba putih bahkan hingga ke sepatunya.

Dari kejauhan, ia dapat melihat perempuan yang sebentar lagi akan menjadi istrinya itu berjalan dengan anggun diantara keluarga dan sahabat-sahabatnya yang menaruh perhatian penuh pada mereka berdua.

Jane memakai gaun putih yang begitu polos, tidak terlalu banyak payet dan jahitan, namun terlihat begitu pas ditubuhnya yang ramping.

Wajahnya hanya dipulas riasan ringan, namun dapat menonjolkan kecantikan alami yang sedap untuk dipandang siapapun.

Prosesi pernikahan berlangsung dengan cepat, setidaknya lebih cepat dari yang Rian bayangkan.

Ketika cincin sudah tersematkan di jari mereka berdua, Rian langsung mengecup perempuan yang kini telah menjadi istri sahnya itu.

“Aku berbahagia untukmu.”

Senyuman Jane mengembang. Ingin rasanya ia memeluk tubuh di depannya itu sekali lagi, namun ia mengurungkan niatnya.

Alih-alih, ia hanya menyalaminya, kemudian berbisik lembut ditelinganya. “Aku senang kita berdua tidak terkena flu hari ini.”

Rian menanggapinya dengan senyuman ganjil.

Jane kemudian beralih, menyalami dan mengucapkan hal yang sama pada perempuan yang berada di sisi Rian.

“Aku bahagia, aku berbahagia untukmu.” Kata Jane dengan suara yang tulus dan menyenangkan.

Setelah itu, Jane berbalik. Rian dapat melihat punggung perempuan itu yang makin lama makin menjauh.

Rian terus memperhatikan punggung Jane, menantikan dirinya berhenti untuk menengoknya dengan senyuman yang biasanya ia lemparkan pada Rian.

Namun perempuan itu terus berjalan menjauh, begitu jauh sampai tidak terlihat lagi.

Ia tidak pernah menengok barang sekali pun.

Tiba-tiba tenggorokan Rian terasa tercekat, kali ini bukan karena asap rokok. Ia yakin telah melihat sebulir air mata yang terjatuh dari pelupuk mata Jane tepat sebelum ia berbalik meninggalkan altar dan pergi menjauh hingga akhirnya menghilang.

Rian tiba-tiba dapat melihat beragam emosi dari balik raut wajah perempuan itu.

Tidak, maksudnya, Rian tiba-tiba dapat memahami beragam emosi yang terlihat dari wajah Jane. Seandainya ia menyadarinya dari dulu, ekspresi itu...

Jantung Rian tiba-tiba berdebar kencang.

Ia menyadari sesuatu yang hilang darinya, yang baru ia sadari dengan jelas.




Pada hari itu, ia akhirnya mengerti, meskipun agaknya sudah terlambat, ia telah menyematkan cincin pada jari yang salah.

MENIKAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang