Tujuhbelas

47 8 1
                                    

Nindha menelusuri koridor dengan langkah pelan. Sebenarnya badannya belum sembuh total, tapi ia tidak mau berada di rumah dan merepotkan bundanya. Apalagi tadi ayahnya sudah kembali bekerja ke Bandung. Lagian kakinya masih bisa berjalan, hanya badannya saja yang hangat. Dan untuk hari ini, mungkin Nindha tidak akan mengikuti upacara bendera seperti biasanya. Ia memilih langsung berada di UKS. Tidak apa-apa kan?

Di tengah langkahnya yang pelan, dari arah seberang tanpa sepengetahuan Nindha, ada seorang cowok yang berjalan dengan buru-buru. Saking buru-burunya, cowok itu sampai menabrak Nindha.

Bruk!

"Aw!" Pekik Nindha saat dirinya jatuh ke lantai.

"Maaf, maaf ... gue gak sengaja," ucap cowok itu.

Nindha meringis, mengusap lututnya yang terbentur lantai. Jadi, kalau sudah seperti ini siapa yang salah? Perlahan Nindha mencoba bangkit. Meskipun cowok itu mengulurkan tangannya, tapi Nindha memilih bangun sendiri. Ia menunduk membersihkan roknya.

"Lo gak pa-pa?" Tanya cowok itu memastikan.

Tapi ... tunggu! Sepertinya Nindha tidak asing dengan suara itu. Nindha lantas mendongak melihat siapa cowok di depannya. Dan benar saja, ia betul-betul mengenali cowok itu.

"Kak Hildan," ucap Nindha pelan.

Cowok itu, Hildan, juga merasa kaget saat tahu siapa yang ditabraknya. "Eh ... Nindha. Maaf ya, aku nggak sengaja, lagi buru-buru." Hildan langsung meminta maaf pada Nindha.

"E ... iya, Kak, gak pa-pa," jawab Nindha gugup.

Masih ingat Hildan? Iya, kakak kelas idolanya Nindha sekaligus alasan Nindha mengikuti OSIS.

"Ada yang luka?" Tanya Hildan khawatir.

Sementara yang ditanya malah diam memandangi rupa ciptaan Tuhan. Tidak salah ia mengidolakan Hildan meskipun bukan most wanted. Melihatnya dari jarak dekat membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Matanya terus saja memandangi wajah Hildan, dengan senyumam yang mengembang di bibirnya. Hitung-hitung melepas rindu setelah beberapa hari tidak bertemu. Rasanya, detik itu juga sakitnya sudah sembuh total. Bahkan ia tidak merasa nyeri lagi pada lututnya.

"Nindha!" Hildan mengibaskan telapak tangannya di depan muka Nindha.

"Hah?"

Mati!

Buru-buru Nindha mengatur air mukanya agar terlihat normal. Malu, perasaan itulah yang kini mendominasi. Ia juga merutuki dirinya yang terjebak dalam netra coklat milik Hildan. Kenapa ia bisa kebablasan seperti ini? Untung keadaan koridor masih terbilang sepi.

"Eng ... anu ... Kak, maaf." Nindha menundukkan kepalanya malu. Sebenarnya bukan hanya malu saja, kini ia takut kalau tiba-tiba Hildan menertawakannya.

"Hah? Maaf buat apa?" Hildan terkekeh melihat tingkah Nindha yang aneh.

Jangan-jangan dia ngetawain gue?

"Maksudnya ... maaf udah ngehalangin jalan Kak Hildan," jelas Nindha.

Hildan tersenyum. Senyum yang membuat Nindha rasanya terbang. Kemudian cowok itu berkata, "Nggak, kok. Aku kan lagi buru-buru. Jadi, yang seharusnya minta maaf itu ... aku. Yaudahlah lupain."

Nindha membalas senyum Hildan dengan canggung. Tak lama kemudian, ia melihat Hildan mulai melangkahkan kakinya. Ada rasa lega sekaligus kecewa.

Ish! Mikir apa sih gue?


***


Lima belas menit sebelum bel istirahat berbunyi, guru yang baru saja mengajar Bahasa Inggris memberi waktu untuk istirahat. Tapi, kalau ingin ke kantin harus menunggu bel berbunyi. Seketika suasana kelas menjadi ramai. Murid-murid langsung bergerombol  menjadi satu untuk sekedar mengobrol atau mengerjakan tugas. Ada yang berkumpul di satu meja, di dekat papan tulis, bahkan di pojok kelas.

Being ColdWhere stories live. Discover now