XV

35.1K 2.6K 62
                                    

"Mawar."

Aku baru saja akan menaiki tangga menuju kelas perpajakan ketika namaku dipanggil. Berbalik, aku melihat Bu Layla tersenyum dengan memeluk setumpuk berkas. Tumpukannya cukup tinggi, dan kelihatannya berat. "Pagi bu," membalas senyumnya, aku mengangguk sopan.

"Kamu sibuk, War?" Tanyanya.

Aku melirik tangga di belakangku, kemudian jam tangan. Kelas dimulai sepuluh menit lagi, dan firasatku bilang Bu Layla mau minta tolong. Aku bukan dukun sih, tapi melihat tumpukan di lengannya? Realistis saja... "Ada kelas sih Bu, jam 10."

"Oh kalau gitu, tolongin saya sebentar ya--" Nah kan! "--Nanti kalau telat, saya yang mintain izin ke dosennya. Mata kuliah apa hari ini?"

Aku tersenyum ragu, ragu untuk membantunya dan ragu kalau Pak Ditya akan mengijinkan.  Aku sudah menggadaikan kebabasanku untuk menebus kesalahanku pada Pak Ditya, kalau ternyata kali ini bermasalah juga, apa lagi yang harus kugadaikan? "Mata kuliahnya Pak Ditya, Bu." Kataku, berharap dia akan mengurungkan niatnya.

Tapi Bu Layla justru tersenyum lebar--dan itu agak menggangguku--lalu mengulurkan berkas-berkas yang semula di peluknya kepadaku. "Oh kalau sama Pak Ditya berarti aman. Nanti saya yang minta ijin. Ini tolong kamu bawa ke ruangan saya, terus masukan ke dalam loker. Ini kuncinya."

Dengan terbengong-bengong, aku menerima berkas-berkas itu--yang ternyata berat, ya Tuhan--dan hanya diam saja saat Bu Layla meletakan serangkaian kunci di atas berkas-berkas yang kupegang dengan kedua tangan. "Tapi, Bu, saya sudah pernah di hukum gara-gara terlambat sekali. Apa ibu yakin ini tidak apa-apa, Bu?" Aku masih berharap wanita di depanku ini berubah pikiran. Seasyik apapun Bu Layla sebagai dosen, aku tetap tidak mau mengambil resiko.

Senyum Bu Layla kini berganti dengan tawa pelan yang ditutupnya dengan tangan yang sekarang bebas. Rasanya seperti melihat tokoh dari novel Jane Austen, tertawa saja dia anggun. "Iya, iya, saya sudah tahu itu dari Pak Ditya langsung. Jadi kamu tenang saja, nanti biar saya yang ngomong langsung sama dia." Ujarnya dengan nada yakin yang tak bisa dibantah.

Mau tak mau aku jadi berpikir kalau Bu Layla dan Pak Ditya itu dekat. Apalagi aku pernah melihat Bu Layla mendatangi kantor Pak Ditya dengan santai. Ya sebenarnya biasa saja sih, mereka sama-sama dosen. Hanya saja, aku merasa aura yang intim setiap kali dia berbicara tentang Pak Ditya atau ketika dia datang mencari laki-laki itu. Atau hanya aku saja yang kelebihan berpikir? Seandainya energiku ini kupakai untuk menghapal rumus akutansi.

Tapi aku jadi merasa sedih untuk Eva.

"04316028."

Deg!

Ini tuh, macam sitkom. Tapi sayangnya ga lucu, semoga saja tak berubah menjadi thriller. Menghadap ke sumber suara, aku tersenyum sopan kepada Pak Ditya. "Ya, Pak? Roza Andria." Jawabku, mengingatkan. Heran, sampai kapan dia cuma hapal nomor mahasiswaku? Apa gak ada niat menghapal namaku saja?!

"Ini sudah jam saya kan? Kenapa kamu belum di kelas?" Ujarnya datar tak menggubris informasi tentang namaku, dan aku juga menyadari kalau dia bahkan tidak memberikan salam kepada Bu Layla.

Aku melirik Bu Layla yang memandang Pak Ditya dengan sumringah, sementara dosen perempuan ku itu sudah berjalan menghampiri dengan bunyi sepatunya yang berhak tinggi.

"Oh, saya menyuruh Mawar untuk menolong saya, Pak. Cuma sebentar kok, saya agak sulit naik ke ruangan saya, tadi kaki saya sedikit cidera dan berkas-berkasnya agak berat." Ucapnya, dengan pandangan yang kata orang syahdu dan tak berdaya.

Aku menaikan alisku. Ini gak salah dengar nih? Alasannya cuma gara-gara itu? Memang dia pikir aku tidak merasa berat dengan berkas-berkas ini? Tak pernah tahu kalau ternyata Bu Layla punya sisi cewek-cewek sinetron Indonesia. Manja! Entah kenapa, rasanya respekku kepadanya jadi berkurang.

Innocent Heart (TAMAT)Where stories live. Discover now