XLII

31K 2.4K 169
                                    

Sejak tadi, Pak Ditya hanya diam. Dia fokus mengendarai mobilnya. Bahkan melirikku saja tidak. Aku menatapnya sesekali, kemudian melemparkan pandanganku ke luar. Sejak tadi ponselku berbunyi, baik dering telepon atau notifikasi. Semuanya dari Revan. Wajar saja, tanpa mengatakan alasannya, aku hanya bilang padanya bahwa aku pulang duluan.

Jalanan di luar ramai, untuk malam minggu bisa dikatakan ini masih sore. Waktu bahkan baru menunjukan pukul setengah delapan.

Menatap lampu-lampu jalan yang berjajar, pikiranku penuh dengan kejadian tadi. Tanpa sadar kusentuh jariku, lalu kemudian malu sendiri jadi aku menggigit kuku ibu jari sebagai gantinya. Apa yang dilakukan Pak Ditya di hotel tadi, benar-benar di luar perkiraan. Mengapa tiba-tiba dia melakukan itu? Duh, terlalu banyak sentuhan untuk malam ini, dan itu membuatku pusing.

Emangnya lu habis minum alkohol, Za. Sampai mabuk gini!

Masih menggigit kukuku, aku tersenyum sendiri membayangkan bagaimana Pak Ditya melingkarkan lengannya di bahuku, atau mengusap bibirku. Duh too much!

"Apa yang lucu?" Pak Ditya mengulurkan tangan dan menarik tanganku turun, melepaskan kuku yang tengah kugigiti.

Kupandang wajahnya, tapi pria itu masih tetap lurus menatap jalan. Bagaimana dia bisa tahu? Apa diam-diam dia memperhatikanku? "Oh, enggak Pak, lampu jalannya bagus." Jawabku asal, kan gak mungkin aku bilang kalau aku senyum-senyum karena ingat kejadian tadi.

Pak Ditya tak mengatakan apapun, dan tangannya kembali kepada kemudi. Padahal kan aku ingin dipegang lebih lama. Lalu, pada saat itulah perutku memutuskan untuk memainkan orkestra. Aku mencengkram perutku, menggertakan gigi, merasa malu. Baru ingat kalau sejak tadi hanya meminum jus jeruk.

"Lapar?" Tanya Pak Ditya, menatapku sekilas dan kembali kepada jalan.

Aku menggeleng. "Enggak kok, Pak." Dustaku, malu setengah mati!

Pak Ditya tak mengatakan apapun setelahnya, namun beberapa menit kemudian dia membelokan mobilnya kesebuah alun-alun yang dipenuhi dengan warung-warung tenda dan penjual dengan gerobak. Karena ini malam minggu, tempat itu tampak terang dan ramai. Memarkirkan mobil di tempat parkir, pria itu kemudian mematikan mesinnya.

"Ayo turun." Perintahnya, dan membuka pintu.

Aku buru-buru melepas sabuk pengamanku dan mengikutinya turun dari mobil. Dengan jas Pak Ditya yang terasa kebesaran di tubuhku, aku merasa agak konyol sementara aku menghampirinya yang tengah melipat lengan kemeja hitamnya hingga ke siku. Pak Ditya juga sudah melepas dasi dan vestnya entah kapan, sekarang membuka dua kancing teratas bajunya. Dia kelihatan tampan dan minta di pacarin banget!

Ya Tuhan! Udahan kek ngasih cobaannya. Malam ini udah overload nih!

Membawaku ke salah satu penjual gerobak, Pak Ditya duduk di sebuah bangku panjang. Aku mengikutinya, rasa-rasanya sangat salah tempat dengan pakaian mengembang seperti ini. Beberapa orang di meja sebelah melirikku, bahkan yang lainnya tak segan-segan menatapku. Karena tampaknya Pak Ditya cuek-cuek saja, aku pun bersikap seperti itu.

"Dua porsi Pak." Ujarnya, kepada sang penjual yang datang meletakan dua gelas air putih. Setelah kuperhatikan, baru kusadari bahwa itu tukang sate padang.

Aku tidak pernah makan di tempat ini sebelumnya, jadi aku memutar pandangan ku. Tak ada halangan di atas kami keculai langit yang tak berbintang. Sementara meja-meja kayu panjang tersebar di kiri dan kananku, di depannya terdapat banyak gerobak yang menjual berbagai macam makanan. Dari mulai soto hingga es potong di ujung sana--yang aku tak paham siapa juga yang mau makan es malam-malam. Tempat itu ramai, banyaknya orang-orang yang berpasangan, selebihnya hanya anak-anak muda yang bergerombol atau satu keluarga lengkap dengan anak dan cucu.

Innocent Heart (TAMAT)Where stories live. Discover now