XLV

29K 2.5K 256
                                    

Cursed : Pulang jam berapa?

Aku memandang ponselku dengan tak berminat. Apalagi rencana Andra kali ini? Kalau dia ingin menculikku lagi dan memaksaku menonton film horor sampah kayak kemarin, aku akan buru-buru kabur dari kampus. Bahkan sebenarnya aku tidak mau ke kampus hari ini, ketemu Pak Ditya rasanya berat setelah kejadian kemarin.

Dengan perasaan tak karuan, akhirnya aku mengetikan chat balasan pada Andra. Membohongi diriku sendiri untuk memperlambat langkah menuju fakultas.

Me : Kenapa memang?

Cursed : Biar gue tahu jam berapa jemput lu.

Me : Ga perlu.

Cursed : Mau ngasih tahu, atau gue datengin kampus lu kayak kemarin?

Me : Lu kan udah janji gak datang ke kampus gue!

Cursed : Gue janji gak nyergap lu di kampus, kalau gue bilang-bilang dulu kan artinya gak nyergap.

Me : Tetap aja!

Cursed : Jadi jam berapa?

"Mawar."

Aku berhenti melangkah, seseorang menghadang jalanku. Mengangkat wajah dari ponsel yang sejak tadi menyita perhatianku, kutatap Revan yang kini memandangku dengan tatapan dingin. Aku mengernyit bingung, bertanya-tanya apakah aku melakukan keslahan hingga dia memandangku seperti itu? Atau ini karena Andra?

"Gue mau bicara sama lu."

"Kenapa?" Tanyaku penasaran, kembali menatap ponselku dan mengetikan balasan untuk Andra. Kalau Revan begini karena kedatangan Andra yang tiba-tiba dan sifat overprotektifnya terpicu keluar, akan ada baiknya mereka tak perlu bertemu lagi.

Me : Malam!

Me : Lu gak ada kerjaan lain apa?! Jangan ganggu gue bisa?!

"Gak di sini. Bisa ikut gue?"

Cursed : Kerjaan? Ada, ngejagain hati lu biar gak berpaling.

Cursed : Kalau perlu, 24 jam per minggu.

Cursed : Eh jangan deng, 23 jam aja, biarin satu jamnya buat nata hati supaya gak kepikiran sama lu terus.

Memutar mataku bosan, ku pandang Revan. "Gue harus ke kantor Pak Ditya bentar lagi, Van. Gue gak bisa lama-lama." Ujarku merana, mengingat kembali bahwa aku harus ke ruangan pria itu. Rasanya masih belum bisa terima kalau aku di tolak.

"Ini tentang lu sama Pak Ditya."

Lalu aku terpaku, mataku yang semula telah kembali menatap ponsel dalam niatan membalas gombalan garing milik Andra, terangkat perlahan-lahan. Revan memandangku dengan serius, dan itu membuatku takut. Apakah dia tahu aku menyatakan perasaanku pada Pak Ditya? Kalau diingat-ingat, aku terlalu ceroboh. Malam itu, terlalu banyak orang di sana!

Kumasukan ponselku ke dalam saku belakang celana jeans ku, rasanya masalah  Andra sekarang ini terlalu sederhana. Menelan ludah, aku memaksakan senyum. "Gue, sama–Pak Ditya?"

***

Revan menghentikan mobilnya di sebuah taman. Sisi kiri dan kanannya, dipenuhi pohon-pohon rindang. Beberapa orang tengah berlari, sementara yang lain mengayuh sepedanya melewati mobil Revan.

Aku duduk mencengkram sabuk pengamanku, kepalaku berputar-putar tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan disampaikan Revan. Sesuatu yang tak pasti seperti ini membuatku takut dan tak tenang! Gara-gara ini juga aku sampai bela-belain gak datang ke kantor Pak Ditya, dia pasti marah. Aku bahkan tak memberi kabar padanya.

Innocent Heart (TAMAT)Where stories live. Discover now