1st Gun

614 72 11
                                    

"Aku tidak memiliki waktu untuk berhadapan dengan sampah tak berguna seperti dirimu."

===

Derap langkah kaki terdengar berirama, layaknya memainkan sebuah lagu. Langkahnya pun tak terlalu lebar pun tak terlalu kecil.

Langkah tersebut berasal dari seorang gadis yang kini tengah berjalan santai di koridor sekolah. Langkahnya terhenti saat pintu ruang OSIS sudah berada tepat di depannya.

"Maaf terlambat," katanya, "kita mulai langsung saja rapatnya." Ia mengambil tempat duduk yang menempel pada dinding.

Seorang lelaki bersurai hitam mengangkat tangannya. "Eh? Tidak menunggu Sei-chan dulu, [Name]?"

[Name], gadis itu, memutar bola mata malas. Tatapannya tertuju pada pintu ruang OSIS yang tertutup rapat. Mengangkat bahu, ia berkata, "Biarkan saja, Mibuchi!"

"Tapi," Mibuchi memprotes, "Sei-chan itu ketua OSIS." Ia menatap [Name], berusaha memohon. "Jadi, tunggulah seben--"

"Maaf, aku terlambat." Seorang lelaki bersurai crimson duduk di kursi di samping [Name]. Ia menatap seluruh rekannya satu per satu kemudian berucap, "Sampai mana rapatnya?"

Manik Akashi menangkap tatapan menusuk [Name]. Dalam batin ia menyeringai lebar. "Jangan bilang, belum dimulai?"

"Ya, itu karena kau," kata [Name]. Ia kembali memfokuskan dirinya dengan berkas di hadapannya, mencoba mengabaikan Akashi yang terus meliriknya dan menyeringai tipis.

Setelah perang dingin kecil-kecilan dari kedua insan itu, rapat mengenai festival budaya segera dimulai.

Untungnya, rapat berjalan lancar, sehingga selesai tepat waktu. Satu per satu anggota OSIS undur diri dari ruangan, bergegas menuju rumah kesayangan.

Di ruang OSIS kini tersisa dua insan, Akashi dan [Name], yang sibuk dengan urusan masing-masing.

[Name] terlalu fokus pada video yang tengah ia tonton di laptopnya. Seringai yang terbentuk dari bibir tipis Akashi perlahan melebar seiring berjalannya waktu.

"[Name]." Akashi mendengus saat gadis itu sama sekali tak meresponnya, "[Name], kau mendengarkanku?"

"Hm."

Akashi tak habis pikir pada [Name]. Gadis itu selalu melempari orang lain dengan senyum cerahnya. Sedangkan saat ia bersama Akashi, gadis itu berubah menjadi gadis yang super dingin. Mulut gadis itu yang semula manis bak cokelat menjadi pedas seperti cabai.

Kemudian Akashi berspekulasi, jangan-jangan [Name] ini cabe-cabean yang berakting menjadi gadis baik di sekolahnya.

"[Name], ada yang ingin kubicarakan," ucap Akashi lagi.

Sama seperti sebelumnya, Akashi tak mendapat satu respon darinya.

Kesal diabaikan, Akashi beranjak menuju stopkontak lalu mencabut charger laptop [Name]. Dan dalam sekejap, laptop [Name] hanya menampilkan warna hitam.

"Akashi." [Name] menatap Akashi yang telah kembali duduk manis di kursinya. "Kau yang mencabutnya, 'kan?"

Akashi mengangkat bahu tak peduli.

[Name] mendengus sebal. Ia mulai membereskan semua barang-barangnya, memasukkannya ke dalam tas lalu hendak keluar.

"[Name]," panggil Akashi, "mainlah sebentar denganku."

[Name] menghempaskan tangan Akashi yang tertaut dengan tangannya. "Ogah."

"Kau membenciku, [Name]?"

"Bukankah itu sudah jelas, Akashi-sama?" [Name] bersidekap, menghentakkan kakinya dengan cepat. "Lagipula, kita ini rival. Jadi, wajar, bukan?"

"Tapi, kita juga rekan."

"Terserah kau saja." [Name] membuka pintu. "Aku tidak memiliki waktu untuk berhadapan dengan sampah tak berguna seperti dirimu."

Akashi menyeringai lebar--benar-benar lebar--saat [Name] meninggalkan ruang OSIS.

"Hee~ menarik."

***

[Name] menyelipkan anak rambut ke belakang telinga saat angin kencang berhembus membelai rambutnya. Matanya menerawang jalanan Kota Kyoto yang dipenuhi orang yang hilir ke sana-sini.

Sesaat [Name] menyesali keputusannya pindah ke kota ini. Kyoto tak jauh lebih tenang dibanding Tokyo, pikirnya.

Bisikan demi bisikan dari para pejalan kaki merasuki indra pendengaran [Name]. Rasa kesal kian meningkat dalam batin gadis itu.

Mafia, mafia, mafia.

Mereka tidak jenuh membahas organisasi kriminal itu? Bahkan [Name] sudah muak hanya dengan mendengarnya.

Langkah [Name] terhenti saat sepasang maniknya menangkap sesosok manusia yang amat dikenalnya berjalan di lorong sempit nan gelap di sudut jalanan kota.

Sekejap kemudian, keterkejutan dan ketakutan hinggap dalam benaknya.

Bahkan jantung [Name] berkontraksi sangat cepat, berbeda dari biasanya.

===

Hope you like it.

Baca project My Mafia yang lain kuy di works Seia. Yang pasti temanya sama, tapi jalan ceritanya berbeda.

¤ My Mafia - Akashi Seijurou

¤ My Mafia - Levi Ackerman


My Mafia - Akashi Seijuurou x ReaderWhere stories live. Discover now