7.5th Gun

287 42 17
                                    

"Somedays I'm nice, somedays I can be a bitch."

•••

Netra heterokrom tersorot ke arah gadis yang mematung sejak namanya diserukan.

"[Name]-cchi?"

"[Name]."

[Name]--sang gadis--tersentak pelan. Kepala perlahan tertoleh, mulut perlahan kembali terbuka, "Yo."

Kening Akashi berkerut samar mendapati tingkah [Name] tak sesuai apa yang telah diucapkan gadis itu.

Akashi menjadi semakin yakin bahwa [Name] masih menyimpan ragu menghadapi perempuan berambut pirang di depannya.

---Cie yang nebak Kise salah tebak. //Seia ditendang

Dekap erat yang hangat melekat dan perlahan menjalar ke seluruh bagian tubuh [Name].

Dalam diam [Name] mengukir senyum. Sudah berapa lama ia tak dipeluk oleh orang ini?

Akashi berdehem pelan, enggan waktu semakin terbuang percuma. "Seia Vöndrschtein."

Dekapan merenggang, baik [Name] maupun Seia--perempuan yang memeluk [Name]--menoleh pada Akashi.

---Tunggu, ke mana Nijimura?

"Ada apa?"

Akashi menggeleng. "Tidak, aku hanya ingin memastikan," ucapnya, "kau Seia Vöndrschtein, seorang psikolog?"

Seia mengangguk pelan. Ia memasuki rumah dominan putih miliknya. "Aku juga praktek di RSJ, jika kau bertanya mengapa berkas-berkas praktekku sangat sedikit di sini," ucapnya begitu mereka tiba di ruang kerja bertipe minimalis.

"Oh, benarkah?" [Name] melirik Akashi sekilas. Seringai tipisnya terbentuk. "Jika begitu, tolong sembuhkan Akashi, dia sakit jiwa."

---Oh, kurang ajar sekali kau, [Name].

Akashi diam tak menanggapi ucapan [Name]. Baginya, berdebat dengan [Name] memang seru, tapi untuk saat ini ia terlalu malas berdebat.

---Lomba debat menang banyak kalian berdua.

"Jadi, ada apa kalian menemuiku?" tanya Seia seraya melangkah menuju dapur, membuat minuman. "Tak kusangka, kau akan menemuiku lagi, [Name]."

"Jika tidak terpaksa, aku takkan sudi menginjakkan kakiku di kediamanmu," ujar [Name] sarkas.

Nijimura mengulas senyum. Tak ia sangka, ingatan masa kecil yang--dapat dibilang--suram masih setia menempel manis di otak [Name].

Seia kembali dengan membawa nampan berisi beberapa gelas hot chocolate dan cemilan berupa kue. "Silakan dinikmati."

[Name] bergidik ngeri menatap jamuan di depannya. "Kau tidak menambahkan bahan kimia berbahaya, 'kan?"

"Mana mungkin psikolog dapat melakukan itu, [Name]," ucap Nijimura. Ia mulai menyeruput cokelat panas di depannya.

[Name] merotasikan bola mata malas. [Name] mencoba maklum apabila Nijimura tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada Seia setelah Nijimura pergi meninggalkannya.

---Ditinggalin pas lagi sayang-sayangnya hikd.

"Tidak, kau salah," Akashi menambahkan, "Seia ini bukan hanya psikolog, itu hanyalah sebuah gelar belaka."

Senyum lebar merekah di wajah Seia. Ia mendekat untuk mengusap pucuk merah Akashi. "Kucing pintar."

"Apa maksudmu psikolog hanya sebuah gelar belaka?" tanya Nijimura.

[Name] merotasikan mata malas. Dendritnya mengirim impuls untuk mengarahkan tamparan di pipi mulus Nijimura secara spontan. "Shuuzo-nii selalu terpaku pada Seia yang di masa lalu, makanya takkan memahaminya."

Nijimura mendengus pelan. Tamparan [Name] selalu berhasil membuat kulitnya memanas.

"[Name]-cchi, kau sekarang galak, huh?" tanya Seia di sela-sela tawa, "Padahal dulu kau lembut sekali."

"Kau benar. [Name] ini selalu terlihat lembut jika di sekolah, tapi jika berhadapan denganku," kata Akashi, "ia menjadi kucing liar."

"Somedays I'm nice, somedays I can be a bitch," ucap [Name] menggunakan alunan sebuah lagu favoritnya.

"Kembali ke awal, kenapa kalian menemuiku?"

"Baiklah, aku juga akan langsung ke intinya." Akashi menoleh ke arah Nijimura yang sedaritadi diam membisu.

Sadar maksud Akashi, Nijimura menyodorkan beberapa lembar kertas ke atas meja. "Target kami. Veronica Verovich, salah satu pasienmu."

Alis Seia berkedut. Tangan meraih kertas, netra meneliti dengan antusias.

Seia kembali meletakkan kertas di atas meja. Kurva tipis kembali dilukis. "Aku sudah menebak apa maksud kalian, tapi jelaskan alasan kalian melakukan hal ini."

"Privasi klien kami harus selalu berada di bawah kendali," sanggah Nijimura.

Akashi menggeleng. Tangannya menepuk bahu Nijimura pelan. "Kami hanya penasaran. Kemarin lusa, seseorang mengabarkan Veronica Verovich tewas tanpa alasan yang jelas. Tempat terakhir--dan juga tempat kematiannya--di sini, di rumah seorang psikolog bernama Seia Vöndrschtein."

Batin [Name] menjerit kagum. Tak ia sangka, Akashi dapat berbicara sepanjang itu. Selama ini ia mengira Akashi hanya seorang Ketua OSIS yang nolep.

---Yeu Akashi nolep.

"Oh, bisa saja dia terkena serangan jantung, 'kan?" sahut Seia.

"Veronica Verovich tak memiliki riwayat penyakit jantung. Lagipula, tak ada indikasi ia terkena serangan jantung saat diautopsi. Dan juga ...." Akashi menengadah, iris heterokromnya menyorot wajah Seia intens.

"... kedua bola mata Veronica Verovich hilang."

•••

Fyi, tiap chap yang .5--kayak 7.5--itu rada" ada humor yang garing + receh + krenyes beud yang terselip di dalamnya. Tapi, chap .5 juga terdapat clue spesial untuk nganuin epep ini.

Honestly, chap .5 itu ga harus dibaca loh XD

Fyi lagi, FF ini kemungkinan akan slow update. But, sekali apdet langsung 2-5 chapter bisa. Jadi, siap" aja boom update :v

Dah, itu aja bacotannya. Pengennya sih ngebacot lagi, tapi PR menunggu /hikd.

Mantan Nijimura,

Seia.

My Mafia - Akashi Seijuurou x ReaderWhere stories live. Discover now