Day-14+4

13.8K 1.3K 68
                                    

Aku terbangun ketika sang surya berhasil mengetuk indra penglihatanku. Seorang wanita berparas cantik di sampingku ini selalu menjadi orang pertama yang ditangkap oleh mataku ketika pagi menjelang. Wanita ini selalu melingkarkan kedua tangannya di atas perutku, membuatku enggan untuk pergi beranjak dari kasur.

Dulunya aku selalu tidur sendirian, tetapi beberapa minggu terakhir ini ada yang berbeda. Anya selalu menemani tidurku. Meski awalnya terasa aneh, namun lama kelamaan aku menikmati kebiasaan baruku.

Aku mulai menikmati irama degup jantungku yang tidak pernah santai ketika ditatap oleh Anya. Getaran itu selalu muncul ketika Anya memposisikan aku sebagai kebutuhannya. Sengatan itu selalu aku rasakan ketika Anya melingkarkan kedua tangannya ke atas perutku.

"Kenapa kamu melihatku dengan tatapan seperti itu, Ale?"

Aku mengerjap ketika menyadari Anya sudah terbangun. Saking menikmati pemandangan pagi ini membuatku tidak menyadari kalau yang menjadi objek pandanganku sudah terbangun.

"Memang seperti apa tatapanku?"

"Ya seperti itu."

"Seperti itu tuh seperti apa?"

"Ya seperti itu, ih!"

Aku tersenyum ketika melihat Anya bisa memberikan beragam ekspresi tidak hanya ekspresi sedih. Sudah lama aku tidak melihat ekspresi Anya yang lain.

"Kenapa kamu tersenyum?"

Anya menarik tangan kiriku yang terbebas, lalu dia menaruhnya ke atas kepalanya. Sepertinya Anya menyuruh aku untuk mengusap kepalanya. Aku pun kemudian mengusap kepala Anya dengan perlahan.

"Karena aku senang bisa melihat ekspresi lain dari dirimu. Belakangan ini kan aku selalu kamu beri ekspresi sedih. Aku ikut sedih melihat kamu sedih, Anya."

Anya tersenyum, akupun ikut tersenyum. Ah aku merindukan senyuman Anya, sudah lama sekali aku tidak melihatnya tersenyum.

"Terimakasih Ale untuk semuanya. Aku tidak tahu lagi apa yang terjadi jika kamu tidak menolongku waktu itu. Mungkin aku sudah mengakhiri hidupku jika kamu tidak datang untuk menolong."

Dahiku berkerut. Memang Anya pernah berpikir untuk mengakhiri hidup?

"Kamu pernah berpikir untuk melakukan 'itu'?"

Anya mengangguk, "Waktu kejadian itu, aku sudah memegang cutter tetapi ketika aku ingin memutuskan urat nadiku, entah mengapa aku teringat kamu. Dan itu membuat aku segera menghubungi kamu."

"Jadi itu alasan kamu kenapa menghubungi aku terlebih dahulu dan bukan menghubungi Bila atau Cindy?"

Dia mengangguk lagi, "Iya, karena aku rasa kamu orang yang tepat."

Senyumku tersungging dengan lebar. Aku merasa menjadi orang yang sangat penting bagi Anya. Aku merasa aku mulai menikmati degup jantungku. Aku hanya berharap agar Anya tidak mendengar degup jantungku.

"Sebaiknya sekarang kita bangun, lalu mandi dan sarapan. Aku tidak ingin bermalasan di kasur. Bagaimana menurutmu, Anya?"

Anya mengangguk, tetapi tidak segera melepaskan pelukannya.

"Lepaskan pelukanmu, Anya. Bagaimana aku bisa pergi jika kamu terlalu erat seperti ini?"

"Beri aku beberapa menit, Ale. Aku ingin memelukmu sedikit lebih lama lagi."

"Selama kamu tidur kamu sudah memelukku Anya, apa kurang lama?"

Dia mengangguk, lalu membenamkan wajahnya ke dalam ceruk leherku. Kedua tangannya semakin dia eratkan. Anya benar-benar berhasil membuat getaran itu semakin nyata dan berasa.

&&&

Sudah tiga hari ini aku berada di kediaman Anya. Keluarga ini begitu hangat terhadapku. Aku merasa sangat diterima kehadirannya.

Ketika itu, aku sedang membantu Tante Irene menyiapkan sarapan. Anya sengaja aku tinggal di kamar karena dia sedang membasuh diri.

"Anya nggak ngerepotin kamu kan, Nak?"

Ketika aku sedang mengiris wortel, dan Tante Irene memasukkan wortel yang aku iris ke dalam panci, Tante Irene mengajakku bicara.

"Enggak kok Tante."

"Bener? Soalnya Anya itu dimanja banget sama Ayahnya, jadi dia selalu ingin diperlakukan manja oleh semua orang. Tante takut Anya merepotkan kamu. Di rumahnya sendiri aja dia merepotkan apalagi di rumah kamu."

Aku terkekeh mendengar perkataan Tante Irene. Pantas saja Anya suka sekali dipeluk, pada dasarnya Anya memang manja, sih.

"Alexia, terimakasih karena kamu sudah mau membantu Anya disaat masa sulitnya. Tante tidak tahu lagi bagaimana jadinya Anya kalau dia tidak menghubungi kamu. Jika salah sedikit saja, Anya bisa menjadi gila dan tidak tertolong."

Aku tersenyum mendengar perkataan Tante Irene. Aku senang bisa dipercaya oleh Tante Irene. Tapi kalau dipikir-pikir lagi ada benarnya perkataan Tante Irene, kalau Anya menghubungi orang yang salah bisa-bisa Anya menjadi bahan gunjingan atau bahkan dihasut untuk menggugurkan kandungannya. Ada banyak kemungkinan negatif yang bisa terjadi bukan?

"Iya Tante, sama-sama."

Kemudian Tante Irene tersenyum, sembari meneruskan aktifitasnya memasak sup daging sapi, Tante Irene bercerita banyak tentang kehidupan Anya yang tidak aku tahu. Ternyata dulu waktu masih kecil Anya itu tidak pernah mau memakai pakaian perempuan. Anya pernah di bully oleh teman-teman perempuannya karena Anya bersikap seperti laki-laki.

Namun ketika memasuki bangku SMA, Anya berubah, dia menjadi wanita tulen pada umumnya. Gemar bersolek, gemar memakai rok, gemar memasak bahkan gemar ke salon. Dan itu terjadi hingga sekarang. Tapi terkadang aku masih suka melihat Anya memakai pakaian yang seharusnya di pakai laki-laki jika ke kampus. Tapi dia masih terlihat cantik kok, Chelsea Islan aja kalah. Aduuh.

"Tante kasian sama Anya, dia itu anak yang baik, anak yang taat, patuh sama orangtua, dia juga periang, tetapi kenapa dia harus menghadapi masalah yang seperti ini?"

Aku ikut sedih mendengar perkataan Tante Irene, Anya memang bukan anak nakal dia tidak pantas mendapatkan musibah seperti ini. Tapi mengapa harus Anya? Memang rencana Tuhan itu tidak ada yang bisa tahu.

"Yang sabar ya Tante, saya janji akan menjaga Anya, saya janji akan membantu Anya hingga masa persalinannya."

Tante Irene mematikan kompor, lalu menatap ke arahku. Tante Irene tersenyum lalu sejurus kemudian menarikku ke dalam pelukan.

"Terimakasih banyak Alexia, tolong selalu kabari Tante jika ada sesuatu yang terjadi dengan Anya, apapun itu tolong selalu kabari Tante. Tante hanya ingin memastikan Anya selalu baik-baik saja."

Aku mengangguk dalam pelukkan. Tante Irene mengusap punggungku dengan pelan. Aku berjanji akan menjadi pendamping Anya selama masa kehamilannya hingga masa persalinan.

&&&&&

9+Where stories live. Discover now