12 Weeks

13.6K 1.3K 75
                                    

Aku pikir Anya akan lama menghadapi traumanya yang kembali datang. Tetapi ternyata aku salah, tidak sampai satu minggu Anya mulai melakukan aktifitasnya seperti biasa. Dia kembali menerima orderan masakan dari teman-teman kampusnya dulu.

Selama kurang lebih lima hari, aku menolong Anya melupakan traumanya dengan sabar. Aku selalu siap siaga jika Anya membutuhkanku. Di lima hari itu, Anya tidak mau keluar dari rumah karena dia masih merasa takut. Anya hanya ingin berada didalam rumah dan tidak melakukan apapun selain menonton film, merajut, dan melamun.

Dalam lima hari itu pula, aku selalu berada disamping Anya, karena Anya tidak mau jauh-jauh dari aku. Dia selalu menyuruh aku untuk duduk disampingnya, dan tidak boleh ada jarak. Harus benar-benar menempel. Sebenarnya aku sedikit kewalahan mengatur detak jantung.

Meski sebenarnya permintaan dia hanya sederhana; duduk disampingnya tanpa ada jarak. Tetapi sesederhana apapun itu permintaannya, jika yang meminta adalah seorang Anya, maka permintaan itu menjadi tidak sederhana dan susah.

Selama seharian ini aku tidak berhenti membantu Anya. Wanita itu sibuk di dapur sedangkan aku sibuk mengantarkan pesanan. Sepulangnya aku dari tempat Ana, aku sengaja mampir ke toko buah untuk membeli beberapa buah. Aku pikir Anya membutuhkan asupan jus buah yang segar, karena itu baik untuk kandungannya.

Di rumah, Anya sedang duduk disofa sambil mengelap keringat. Aku berjalan ke dapur, dan menaruh buah-buahan kedalam kulkas. Lalu mengambil dua buah jeruk untuk aku buat jus.

Setelah jus jeruk yang aku buat selesai, aku menghampiri Anya.

"Kalau capek istirahat aja, Nya. Jangan terlalu dipaksakan. Nih, diminum."

Anya tersenyum, lalu menerima gelas yang aku berikan. Aku duduk disamping Anya, mengambil remote dan menyalakan TV.

"Cindy tadi telpon aku, katanya dia mau kesini. Boleh?"

Setelah meneguk setengah gelas jus jeruknya, Anya menaruh gelas itu keatas meja. Lalu dia menatap ke depan, kearah TV.

"Boleh, boleh aja."

"Oke, aku bilang ke dia kalau boleh."

Lalu aku mengambil ponselku dan mengirim pesan untuk Cindy, aku mengatakan bahwa dia boleh datang ke kontrakanku.

&&&&&

Sore itu Cindy datang bersama Bila, mereka terkejut ketika melihat perut Anya yang semakin membesar. Mereka membanjiri Anya dengan beberapa pertanyaan, yang pada akhirnya Anya menceritakan semuanya. Mulai dari kejadian awal hingga akhir.

Cindy dan Bila sempat ikut geram terhadap perilaku Fabian. Padahal Bila pernah bilang bahwa Anya dan Fabian adalah pasangan yang serasi, tetapi ternyata Bila salah. Mereka juga berterimakasih padaku karena sudah mau merawat Anya, aku pun hanya bisa tersenyum. Karena pada dasarnya, aku memang tidak ingin Anya merasa sendirian, karena pada dasarnya aku menyukai Anya.

Setelah puas melepas kerinduan, akhirnya tepat pukul tujuh malam, Cindy dan Bila pamit pulang. Cindy memberikanku nasihat untuk terus menjaga Anya dengan baik. Bila juga berharap agar Anya bisa melahirkan buah hatinya dengan lancar.

Mereka berpesan akan menjenguk Anya ketika weekend, karena Cindy dan Bila sudah bekerja di sebuah perusahaan multinasional.

Setelah Cindy dan Bila pergi, Anya duduk disofa, dia terlihat sangat kelelahan. Aku menutup pintu, lalu menghampiri Anya.

"Anya, kamu sakit?"

Anya mengangguk lemah. "Kepalaku pusing."

Aku mendekati Anya, dan menempelkan punggung tanganku pada dahinya.

"Suhu tubuhmu meningkat Anya. Kita ke kamar ya? Kamu istirahat. Besok tidak usah menerima orderan. Besok dipakai buat istirahat ya?"

Anya mengangguk, lalu aku memapahnya ke kamar. Anya memang butuh istirahat.

&&&&&

Keadaan Anya semakin memburuk, pagi itu suhu tubuh Anya tidak kunjung turun. Karena khawatir aku memanggil dokter keluargaku untuk memeriksa keadaan Anya. Tidak lama Dokter Rani datang, beliau memeriksa Anya dengan seksama. Setelah selesai memeriksa, Anya diberi obat untuk menurunkan suhu tubuhnya. Setelah melewati perdebatan singkat, akhirnya Anya mau meminum obatnya dan sekarang dia sedang terlelap.

Aku mengantar Dokter Rani ke ruang tamu untuk membicarakan keadaan Anya.

"Temen kamu itu hanya kelelahan. Di usia kehamilan yang hampir 4 bulan, Anya tidak boleh terlalu capek karena dapat berdampak pada kandungannya."

"Oke, Dok. Sebisa mungkin aku akan mengingatkan dia untuk tidak terlalu capek."

Dokter Rani mengangguk, lalu dia mengambil tasnya dan hendak berdiri.

"Ohya, satu lagi, jangan biarkan dia terlalu banyak berpikir. Sepertinya ada yang mengusik benaknya."

Dahiku berkerut mendengar perkataan Dokter Rani, karena yang aku tahu Anya sudah tidak banyak melamun, dia juga sudah tidak pernah mengigau. Lalu apa yang mengusik benak Anya?

"Iya Dok, aku akan ingatkan Anya untuk tidak banyak berpikir."

Dokter Rani mengangguk, lalu dia pamit pergi. Setelah Dokter Rani pergi, aku menghampiri Anya yang berada di kamar.

&&&&&

9+Where stories live. Discover now