3. Empty Space

243K 13.2K 584
                                    

Satu-satunya cara menyingkirkan pikiran buruk dan asumsi-asumsi bodoh tentang Drey adalah dengan bekerja. Konsentrasi penuh ke pekerjaan membuatku jadi agak lupa dengan bayangan wajah kosong Drey. Angka-angka pembukuan Savanna jadi pelampiasanku hari ini.

Angka-angka ini juga yang membuatku ingat Dave. Cowok itu tergila-gila dengan angka. Dia mahasiswa terbaik UCLA yang mendapatkan gelar doktor pada usia muda. Otak di kepalanya mungkin sama berototnya dengan tubuhnya.

Aku sedang melotot pada laporan penjualan minggu kemarin saat pintu depan dibuka dengan kasar. Suaranya keras sekali. Aku melonjak kaget. Setelah bergegas untuk melihat pelakunya, aku kecewa. Bukan perampok. Itu Karin yang masuk. Senyumnya ceria.

Kukira aku saja yang kaget. Ternyata semua orang juga. Beberapa orang berdiri melihatnya. Tundra yang masih memakai celemek kulit barista menghampirinya.

Karin mengacungkan benda putih kecil. "GUE HAMIL!!!"

Tundra langsung memeluk dan menciumnya. Orang-orang di penjuru Savanna bersorak dan bertepuk tangan. Aku menghela napas lega. Paling tidak, bukan kabar buruk. Ryn kecil nyelonong masuk dan langsung digendong sama Tundra.

Pemandangan yang bikin meleleh, ya?

Kupeluk Karin erat sekali. "Selamat ya. Baik-baik lo sekarang hamilnya. Jangan bikin anak ganjen lagi."

Dia ngakak. "Cowok lo aja yang bikin anak gue jadi khilaf. Mana tu Kuda jingkrak?"

"Lembur. Bentar lagi paling."

"Eh, ya. Semalem gue upload foto kita pas lagi di rumah, tuh. Terus Martin DM gue nanyain lo. Inget nggak lo?"

Aku tersenyum lebar. Mana mungkin aku lupa sama cowok yang konyol abis seperti dia.

"Terus?"

"Pas gue kasih lihat foto lo sama Dave, dia bilang lo kesian kalo dapet cowok bocah kayak dia." Karin tertawa. "Nggak usah dengerin tu kutil babon. Dia kecewa aja nggak jadi sama lo."

Aku mengangkat bahu. "Di antara kami nggak ada apa-apa, kok. Kami cuma jalan doang ke mall sama Claire terus gue ajarin dia gelung rambut Claire gaya balerina gitu. Senin pagi dia balik ke Surabaya."

"Lo yang nggak peka, sih. Lo kan dikasih nomornya dia, kenapa nggak dihubungi? Malah jadian sama tu banteng matador." Karin memiringkan bibir, terlihat sedang menimbang sesuatu. "Tapi, gue seneng lo happy sama Dave. Sama siapapun, asal lo bahagia gue juga pasti bahagia, Ana."

"Thank's, Kar. Gue sayang lo," kataku sambil memeluknya lagi.

Karin melepaskan pelukan. Dia mengamatiku. Kalau sudah begini dia jadi terlihat tua sekali. Dia benar-benar seperti emak-emak. Sambil menggeleng prihatin dia memegangi pipiku. "Lo berapa malam nggak tidur, centelan panci? Muka lo segini amat?"

"Kenapa? Muka gue begini dari lahir."

"Siapa yang lo bohongi? Gue tahu tampang lo yang 'normal'." Dia masih mengamatiku. "Drey, yah?" Suaranya mengecil.

Begitu Karin menyebutkan nama ini, aku langsung mual. Rasanya ada yang ditekan di dalam perutku. Kepalaku juga langsung pusing.

Oke. Ini Drey-phobic. Aku sudah hapal dengan sensasi ini sejak waktu itu melihat dia di TV. Biasanya aku juga jadi malas makan dan malas minum sekalipun tenggorokanku terasa kering sekali.

Karin menghela napas panjang. "Gue kira lo sudah move on."

"Gue juga berharap gitu dari bertahun-tahun lalu, Kar."

"Lo nikah deh sama Dave terus pergi ke mana gitu. Lo butuh orang kayak Dave, Ana. Lo butuh move on."

Aku mengangguk setuju. "Tapi nikah bukan solusi sih, Kar. Gue nggak mau Dave cuma mikir gue sayang sama dia sementara hati gue masih penuh sama orang lain."

Savanna (Terbit; Heksamediapressindo)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang