26. Malam Itu...

99.7K 12.6K 2.2K
                                    


___

Berjalan tak tentu arah sejak belasan menit yang lalu dari trotoar satu ke torotoar lainnya. Itu yang aku lakukan. Aku menunduk dengan bahu bergetar sambil menggigit bibir kuat-kuat agar suaraku tak keluar. Tak peduli dengan orang yang menatapku heran.

Aku memakai earphone dan menyambungkannya ke ponsel. Aku biasa saja dengan musik. Namun, ada satu lagu yang membuatku tertarik mendengarnya sejak dulu. Judulnya Diary Depresiku. Lagu milik Last Child yang terlalu mengena di hatiku. Suatu waktu, aku pernah mengeraskan lagu itu di dalam kamar saat Papa ada. Sengaja agar Papa mendengarnya seolah-olah aku ingin mengatakan kepada Papa, "Pa, begini isi hatiku sekarang."

Apa lagi dengan lirik,

wajar bila saat ini kuiri pada kalian yang hidup bahagia berkat suasana indah dalam rumah.

Ada satu lagi lagu Last Child yang aku suka. Judulnya Pedih.

Iya, aku tahu. Banyak anak di luar sana yang jauh lebih kurang beruntung dariku. Akan tetapi, apa yang aku rasakan dulu lebih parah. Disaat aku masih SMP. Sekarang justru lebih baik lagi karena beberapa hal yang aku mengerti dan wajari. Seperti tentang sebuah pernikahan yang tidak selalu berjalan mulus. Pasti akan ada masalah entah itu kecil atau besar. Tergantung bagaimana orang-orang melewati masalah itu dengan bijak.

Aku berhenti di sebuah halte kosong dan duduk di sana. Tak ada siapa-siapa dan akhirnya aku bisa menangis, mengeluarkan isakanku dengan kencang.

Sebuah mobil berhenti di tepi trotoar. Seseorang keluar dari pintu kemudi. Pandangan mataku mengabur karena air mata. Orang itu mendekat. Menghampiriku ke halte dan berdiri tepat di depanku. Saat kulihat jelas bahwa orang itu adalah Mars, aku rasanya ingin cepat-cepat meninggalkan tempat ini.

"Ngapain lo sendirian di sini?" tanya Mars.

Aku hanya diam mengapus air mataku di pipi.

"Geigi?"

Aku segera berdiri dan meninggalkan tempat itu. "Gue lagi nggak mau ketemu siapa-siapa. Gue mau sendiri," kataku.

"Lo mau ke mana?"

"Bukan urusan lo." Aku mempercepat langkah.

"Geigi!" Mars menarik tanganku dan aku tak bisa ke mana-mana.

Aku menatapnya. "Kenapa sih semua orang hari ini nyebelin banget? Lo juga nyebelin! Gue bilang gue mau sendirian lo ngerti nggak, sih? Punya telinga, kan?"

Mars menatap tepat ke mataku. "Lo nggak lihat ini di mana? Lo sendirian."

"Gue memang mau sendiri, Mars...."

"Ya udah." Mars menarikku ke mobil yang tadi dikendarainya. "Gue anterin lo pulang, ya? Daripada lo sendiri di jalan. Entar ada apa-apa."

Aku hanya mengikut ke mana dia membawaku. Aku masih menangis. Dia yang membukakan pintu untukku, dia juga yang menuntunku masuk ke dalam mobil. Aku menatapnya saat dia bersiap menyalakan mesin.

"Mars...."

Mars beralih menatapku. "Ada apa?"

"Gue nggak sanggup." Aku menggeleng. "Gue nggak pengin bokap gue nikah sama orang lain. Gue nggak mau punya mama baru. Gue nggak mau...." Aku menutup wajahku sambil menangis. Aku tak sadar apa yang terjadi setelahnya.

Mars menarikku ke dalam pelukannya. "Kalau gitu nangis aja dulu. Sampai lo tenang. Biar gue juga bisa tenang," katanya.

Aku meremas bajunya sambil terisak. Aku tak sadar menangis di dalam pelukan Mars entah sampai berapa lama. Sangat lama. Sampai aku lupa waktu dan aku juga bingung bagaimana mengatakan semua ini.

Geigi [SUDAH TERSEDIA DI TOKO BUKU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang