Bab 17

595 93 13
                                    

"I'm not angry. I'm hurt. And there's a big difference."

-----

Kostum yang kugunakan terlalu kembang menurutku. Tapi tak bisa kupungkiri kalau gaun itu benar-benar cantik. Gaun yang kukenakan berwarna merah, dengan bagian leher sabrina. Kupakai sebuah kalung sebagai pemanis. Rambut kubiarkan tergerai, karena Bu Eka yang akan mengaturnya nanti.

Papa dan Mama sedang berbicara dengan Cindy yang ada di sampingku. Aku tak peduli mereka mengatakan apa, yang kulakukan hanyalah menatap ke luar jendela mobil, memperhatikan berbagai kendaraan, orang, atau bangunan yang lebih menarik dari pada harus tenggelam dan berpura-pura menyemangati Cindy karena ini adalah debutnya bermain drama.

Sesampainya di sekolah, aku langsung menghampiri Abil yang sedang mengobrol, tidak permisi pada kedua orang tuaku. Budi dan Siti ada bersama Abil, membicarakan sesuatu tentang betapa tidak cocoknya Abil sebagai tokoh Pangeran.

Namun menurutku malah sebaliknya; Abil sangat terlihat keren dalam balutan pakaian khas kerajaan itu. Meskipun aku masih dapat melihat dengan samar memar yang ada di wajahnya, dia tetap saja enak dipandang. Badannya cukup gagah kok untuk anak seukuran kami.

“Hoy!” sapaku sembari merangkul Siti.

Perhatian mereka terjatuh padaku, Siti saja langsung menganga kemudian menjauhkan diri hanya untuk melihatku lebih jelas, “lo cantik banget, An!”

Kukibaskan rambutku, tersenyum bangga, “iya dong,” balasku lalu berputar-putar, “gue kan dari sononya udah cantik.”

“Yee, seharusnya kamu gak usah bilang gitu, Sit. Kupingnya jadi naik lima senti!” Budi menggeleng-gelengkan kepalanya.

Aku menatapnya dengan kesal, “memangnya salah, senang karena dengar pujian?”

“Enggak, sih,” Abil menjawab.

Senyumanku semakin lebar. Apalagi mengingat bahwa dia dan Pangeran sudah berbaikan. Tak ada lagi pembahasan tentang hari pertengkaran itu. Dan aku sangat bersyukur karenanya. “Betewe, Bu Eka mana? Dia bilang bakal ngurusin rambut gue,” tanyaku.

Abil mengangkat bahunya, menandakan bahwa dia tidak tahu. Tapi tak masalah karena sedetik setelah itu, Reza datang menghampiri kami karena dicari Bu Eka.

Aku sempat menangkap pandangan Reza yang menatapku dengan lembut, khawatir.

Aku menunduk sedikit. Berharap ia melupakan saja kejadian di studio tari saat itu. Anna yang menangis dan Anna yang lemah bukanlah Anna yang kusuka. Anna adalah gadis kuat. Gadis kuat tidak menangis.

Selekas memantapkan hati, aku kembali mengangkat kepala. Tersenyum mantap sebagaimana Anna yang 'seharusnya'.

Reza menghela napas panjang, langsung mengambil langkah seribu dan meninggalkan kami. Sementara kami menyusul, Abil berkata, “tadi gue lihat Cindy bareng lo sama orang tua lo.”

Aku terdiam selama dua detik. Mengedikkan bahu dan membalas, “memangnya kenapa? Salah?”

Cowok di sampingku ini menggeleng, “enggak,” lalu kami tenggelam dalam kebisuan sampai kami berdua tiba di belakang panggung. Bu Eka sedang memberikan perintah pada beberapa siswa untuk membereskan sesuatu--–atau menyuruh untuk mengambil jus jeruk dari stan makanan. Ketika badannya berbalik menatap kami, dia menepuk tangannya, “Pangeran dan Saudari Tiri!” katanya riang, menarik tanganku serta Abil ke dekat meja yang dipenuhi alat rias.

Bu Eka mendudukkan kami berhadapan, lalu mengambil sisir dan mulai mengatur rambutku. “Rambut kamu bagus, ya, Anna?” Bu Eka berbasa-basi.

“Ya iyalah, Bu. Saya kan rajin perawatan,” kataku dengan nada bercanda. Abil hanya tersenyum tipis saat mendengar perkataan Bu Eka, “Ibu nyesal gak perawatan waktu seumuran kamu. Sekarang, lihat hasilnya.”

Cinderella's SisterWhere stories live. Discover now