Bab 23

634 86 5
                                    

"Aku sudah benar-benar jatuh untuknya."

-----

“Loh? Joshua ma men!”

Kurasa aku tak perlu mengatakan kalau aku benar-benar terkejut dengan teriakan itu, bukan? Astaga, kupikir nyawaku sempat melayang tadi. Sungguh mengesalkan, aku bahkan baru menginjak tanah selangkah dari gerbang ketika suara menggelegar mengalahkan guntur itu terdengar. Belum lagi dorongan pada tubuh yang kuterima. Dasar si sialan Reza. Dia berlari menyerangku—Joshua—sambil mengajaknya bertos ria. Sementara aku? Terpaksa tersingkir dan terdorong ke sebalah kanan.

“REZA!” Aku berteriak kencang, tapi benar-benar diabaikan.

“Kenawhy pake seragam sekolah kita? Lo pindah ke sini?”

“Enggak, bang. Panjang ceritanya.”

“REZA GEMBEL!”

“Ceritain aja, gue bakal dengar kok.”

Saat dia mengatakan itu, kedua mataku sontak membola. Apaan? Tak bisa dipercaya! Aku mendengkus keras-keras, merasa jengkel sekali. Jadi kuangkat kaki kiriku, mengumpulkan semua tenaga yang ada dalam tubuhku, dan segera menyentaknya kembali... Tepat ke atas kaki Reza.

“AWW! BANG*tiit*”

Oke, serius, Reza memang mengucapkan kata ‘tiit’ dengan suara melengking nan halus. Sebagai pengganti sensor yang ia nyalakan dalam program kata mungkin. Benar, aneh.

Reza menatapku, tidak terima diperlakukan seperti itu. Matanya memicing tajam dengan kepala sepenuhnya ditolehkan menghadapku. Aku menunggu ia berbicara kasar, atau setidaknya berteriak. Tapi tidak sama sekali. Tebakanku adalah, dia sedang menjalankan skenario buruk tentang bagaimana membalasku dalam bayang-bayang kepalanya. Dugaan paling kuat adalah, dia sedang berfantasi tentang bagaimana membunuhku. Mungkin pakai pisau dari kantin, atau melempar tubuh ke kendaraan mobil yang melaju kencang di jalan, atau bahkan memilin kepalaku saja sampai 180 derajat. Ya Tuhan, aku sudah mulai merasa menjadi psikopat sadis.

“Pagi-pagi gini lo udah nyebelin banget, sih, nyet.” Itu Joshua, menampol kepalaku bagian belakangku.

Aku semakin membolakan mata, terlampau kaget dengan tindakan sang adik yang jelas-jelas seorang ‘adik’. Di mana rasa hormat dan sopan santun pria muda ini?! Aku akan segera membunuhnya. “Oh, no, you didn’t,” kutekankan ucapanku sambil melangkah ke depannya. Meluruskan pandangan meski dia jauh lebih tinggi—jauh sekali.

Yes, i did,” balasnya, bersedekap dan menyamakan posisi mata agar lurus terhadapku. Dengan begitu angkuh dan menantang. Lihat saja, senyuman miring yang dia beri sungguh sudah lebih dari cukup sebagai bukti kalau dia adalah anak berandal di sekolah (aku tidak tahu bagaimana setan cilik itu bisa selalu mendapat nilai bagus di sekolah).

Dan selanjutnya yang kutahu, adalah keningku dan kening Joshua saling berbenturan. Keras sekali. Aku mundur selangkah, memegangi keningku yang mungkin sudah memerah. Joshua juga melakukan hal yang serupa. Dalam waktu bersamaan, kami menyentak tangan ke bawah dengan kesal, kemudian berpaling menatap ke arah Reza yang cengengesan tanpa arti dan dalam kedipan selanjutnya, sudah kabur memasuki gedung sekolah. Beraninya dia menubrukkan kepalaku dengan adikku. Dia tidak akan selamat dari ini. Kabur sekarang pun tak ada gunanya, kami kan sekelas.

“Minta ijin untuk membunuhnya?” Joshua bertanya.

Aku lantas mengangguk, “ijin diberikan,” jawabku.

Kami kembali bertatapan, seolah memiliki pemikiran sejalan, kami sama-sama mengangguk. Setelahnya bertos dan melanjutkan perjalanan ke kelas. Lebih tepatnya ke kelasku, karena si anak bongsor yang satu itu sedang ngotot untuk bertemu teman yang lain.

Cinderella's SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang