[ BAGIAN SATU: KEHANCURAN - 2 ]

11 2 0
                                    

RYUJI Xanario, atau yang akrab dipanggil Ryu baru saja selesai membersihkan diri, saat menerima telfon dari atasannya.

Hari masih sangat pagi, ketika Ryu mengangkat telfon itu.

"Halo?"

"Salam hormat, Kolonel Ryuji, saya Wolk— asisten Brigadir Gijka, ingin memberitahu bahwa gencatan senjata dengan pihak musuh sudah berhenti sejak pukul 00.00 tadi. Kami sedang bersiap untuk menyerang kembali pihak lawan"

"Oh, Oke"

Sambungan telfon pun berakhir.

Ryu menghela nafas.

Posisinya sebagai Kolonel utama wilayah Hardzikya terkadang—sering menyiksanya.

Semua penyerangan harus meminta ijin dari dirinya.

Dan semua itu tidak dapat dilakukan tanpa akal, pikiran, dan intuisi yang kuat.

Ryu melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda, memakai baju.

Setelah selesai, Ryu pun menuruni lift rumahnya, menuju ruang makan.

"Selamat pagi, Ryu," Sapa Ayah Ryu, Haiji.

Ryu membuang mukanya.

Ibu Ryu, Hana, sudah meninggal sejak setahun yang lalu.

Meninggal dikarenakan ledakan bom.

Bom itu berasal dari tim Guija-X-078, merupakan salah satu tim dari pihak Shijkala .

Hana, Ibu Ryu sedang berada disana ketika bom itu jatuh di lokasi.

Ryu duduk di kursi kebesarannya.

Ryu tidak sempat bercakap-cakap lagi, pada orang disekitarnya—dan pada dasarnya, Ryu memang tidak ingin bercakap-cakap dengan siapapun, terutama pada Haiji.

"Ryu, bagaimana keadaanmu?" Tanya kakak perempuan Ryu, Shedja.

"Baik" Jawab Ryu, dingin.

Lantai marmer di rumah besar itu semakin menambah kesan dingin di rumah itu.

Keluarga Ryu memang termasuk keluarga kaya dan terpandang di wilayah Hardzikya.

Rumahnya besar, dipenuhi oleh pilar-pilar cantik yang menopang pondasi rumah.

"Aku harus pergi, selamat tinggal" Kata Ryu, bangkit dari duduknya.

Bahkan makanannya pun masih bersisa banyak.

Rutinitasnya yang sibuk membuat Ryu jarang berada di Rumah.

Berangkat subuh, dan pulang larut malam.

Seringnya, Ryu memutuskan untuk tidak pulang.

Lagipula, untuk apa ia pulang? 'Tempat berpulang'-nya bahkan sudah mati setahun yang lalu.

Tak ada gunanya lagi Ryu pulang ke rumah itu.

Haiji menghela nafas, melihat punggung kekar anak bungsunya yang keluar meninggalkan rumah.

Ini semua salah dirinya.

"Ayah," Panggil Shedja.

"Ya?" Haiji menoleh ke arah putri sulungnya.

"Biarkan saja dia begitu. Nanti juga sadar sendiri" Kata Shedja.

Haiji mengangguk.

"Ayah, aku harus pergi. Anak-anak di perbatasan wilayah kita dan wilayah Shijkala membutuhkanku," Kata Shedja.

Haiji mengangguk.

Pekerjaan Shedja sebagai guru di perbatasan memang seringkali menyita waktu, belum lagi ancaman bom dan senjata dari kedua belay pihak.

Shedja bangkit dari duduknya, bersiap untuk pergi.

Lalu, setelah selesai membereskan piring-piring kotor, Shedja pun pamit berangkat.

Beginilah hidup Haiji setiap harinya.

Sendirian di rumah besar yang tak berpenghuni.

"Hana, aku rindu denganmu," Bisik Haiji ditengah kesendiriannya.

Dijalan menuju markas, Ryu bertemu sahabat karibnya sejak lama, Jayovsky.

"Hai, Ryu. Bagaimana kabarmu?" Tanya Jayovsky atau yang akrab dipanggil Jay.

"Baik" Jawab Ryu pendek.

"Oh, ayolah, Ryu. Mengapa kau tidak terlihat tidak bersemangat pagi ini? Padahal pagi ini sangatlah cerah" Kata Jay, merangkul sahabatnya.

"Diam, Jayovsky. Aku sedang tak ingin barbicara denganmu," Kata Ryu, menepis tangan Jay.

"Oh, baiklah, Ryu. Sampai jumpa lagi nanti" Kata Jay, tersenyum kecil.

Dia sudah sampai di tempatnya bekerja, laboratorium rahasia.

Dan itu berarti, Ryu sudah mau sampai di markasnya.

Ryu menatap bungker dihadapannya.

Kemudian menghela nafas perlahan, sebelum akhirnya melangkahkan kaki ke dalam bungker.

Selamat datang di kehidupan Ryuji Xanario yang sebenarnya.

• • •

02 / 07 / 2018

Love. Xx
_darksides

THE FIGHTERWhere stories live. Discover now