28 - Kecelakaan

9.6K 499 11
                                    

🌛🌛🌛🌛

Serla menerima uluran helm dari Gerdan. Namun benda itu malah di dekapnya, tidak kunjung dipakai. Ia malah menatap Gerdan lama. Yang ditatap menaikkan alis, tak mengerti. Setahu Gerdan, dirinya tidak berbuat salah pada gadis di depannya itu.

"Kenapa? Lo masih laper? Kita baru aja keluar dari cafe, La."

Serla mngerucutkan bibirnya dengan kesal. Kakinya menghentak. Pandangannya mengelilingi sekitarnya. Kesal karena Gerdan tidak peka. "Lo pernah janji ke gue. Masa lo lupa?"

Gerdan mengerutkan dahi, bingung. Apa janji yang sekiranya Gerdan utarakan pada Serla? Kenapa Gerdan bisa lupa. Kenapa juga Serla tidak langsung mengatakannya?

"Janji?" tanya Gerdan.

"Nggak usah sok lupa! Bilang aja lo mau ingkar janji."

"Hey, gue bener-bener lupa. Lagian kenapa lo nggak bilang aja apa janji gue. Gampang kan?" Gerdan tak habis pikir. Serla bisa saja langsung mengatakannya pada Gerdan, lalu kenapa tidak ia katakan? Kenapa juga harus dengan kode?

"Ishh udah ah!" Kesal, Serla memakai helm dengan gerakan asal. Bahkan rambutnya sampai berantakan.

Gerdan menghela napas panjang kemudian membenarkan letak helm di kepala Serla. Namun gadis itu masih diam saja. Seolah diamnya bisa Gerdan pahami.

"Ngomong. Gue nggak bisa peka dengan kode seperti itu, La. Lo tahu sendiri," ucap Gerdan akhirnya.

Serla menggembungkan pipinya. "Lo kan pernah bilang mau ajak gue ke cafe yang itu. Cafe tempat traktiran SMA Pandawa. Gitu aja lo lupa."

Gerdan tertawa setelah mendengar penjelasan Serla. Hanya karena itu? Memang susah sekali jika gadis itu langsung to the point? Gerdan mendengus geli.

"Jangan ketawa! Nggak lucu!"

"Kenapa nggak bilang dari awal sih? Kita kan udah makan. Besok ya?" tawar Gerdan.

Serla ingin menolak. Tapi perutnya memang sudah kenyang karena baru saja makan nasi goreng dua piring. Kasihan juga Gerdan, tekor dianya nanti. Alhasil dengan pertimbangan cukup lama, Serla mengiyakan juga. Dia mengangguk. "Oke."

Gerdan naik ke motornya, kemudian diikuti Serla yang moodnya sudah seperti semula. Motor itu kemudian melaju membelah jalanan Ibu Kota.

🌛🌛🌛🌛

"Ya gimana orang anjingnya ngejar. Terus ada tembok, gue manjat. Ehhh gue nya tau-tau nyungsep di selokan yang isinya lumpur doang. Item dah muka sama badan gue."

Gerdan tertawa. Begitu juga Serla. Membayangkan gadis itu nyungsep di selokan penuh lumpur ketika kecil, membuat Gerdan geli sendiri.

"Terus?"

"Terus pas pulang, Mama kaget. Sempet mau ngusir gue saking itemnya gue. Dia kira orang gila. Langsung aja gue nangis kejer keras banget sampai Mama sadar kalau gue anaknya. Tangisan gue kan dulu menggelegar."

Lagi-lagi Gerdan tertawa. Masa kecil Serla ternyata menyenangkan. Tidak seperti dirinya yang hambar. Andai saja dulu rumahnya dekat dengan Serla, mungkin Serla akan mengajaknya bermain.

Gerdan melajukan motornya dengan santai. Jalan ini bukan termasuk jalan raya yang padat kendaraan. Mungkin hanya beberapa saja yang melewati jalan ini. Awalnya Serla tidak tahu ada jalan ini. Karena ternyata lewat jalan ini lebih dekat dengan sekolahan dan rumah Gerdan.

Lelaki itu membelokkan motornya ke kiri. Kejadian itu begitu cepat hingga Serla tak sempat berpegangan erat pada Gerdan. Tubuhnya dan Gerdan ambruk bersamaan dengan motor merah besar itu.

Gerla (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang