42 - Teringat Serla

9.1K 519 6
                                    

🌛🌛🌛🌛

Serla membuka matanya pelan-pelan. Pusing itu masih ada. Dan badannya juga panas. Lemas rasanya. Padahal, kemarin Miranda sudah mengajak Serla ke dokter. Namun Serla tidak mau dan akhirnya gadis itu hanya meminum obat biasa saja.

Dia pikir dirinya akan sembuah ketika membuka mata esoknya. Tapi ternyata Serla masih sakit sampai saat ini.

Pintu yang terbuka membuat Serla menoleh sedikit. Ternyata mamanya.

"Masih sakit?"
Miranda menghampiri Serla dan memegang dahi anak tunggalnya itu. Ternyata gadis itu belum pulih.

"Hari ini kamu istirahat aja ya? Nggak usah sekolah dulu."

Serla mengangguk pasrah. Rasanya dia memang tidak akan sanggup jika pergi sekolah.

"Dan nanti kita ke dokter. Nggak ada penolakan, Serla. Mau cepet sembuh kan?"

Miranda kini merasa seperti mengurus anak kecil. Serla dari dulu tetap sama. Sebisa mungkin tidak bicara ketika dirinya sakit. Responnya hanya menggeleng, mengangguk, dan senyum jika dia merasa jawaban itu cukup.

Seperti sekarang, Serla hanya mengangguk dan kembali menutup mata.

Miranda membenarkan selimut anaknya. Kemudian pergi diiringi usapan lembut pada kepala Serla.

🌛🌛🌛🌛

Gerdan mengaduk minumannya dengan tatapan kosong tertuju pada luar jendela kantin yang menampilkan lapangan basket.

Hari ini gadis itu tidak masuk sekolah. Sebuah rasa yang dia tidak tahu namanya hinggap tiba-tiba. Rasa yang membuat dia selalu merasa tidak tenang.

Tapi sepi lebih dominan di antara semua rasa yang singgah di dadanya.

Jujur saja, semenjak pertengkaran dia dan Serla, rasanya semua hambar. Monoton. Seakan hidupnya kembali seperti dulu ketika Serla belum hadir di dunianya.

Tidak ada seseorang yang berani mengacaukan harinya dengan cuma-cuma selain Serla. Hanya dia, yang mampu merubah hidup Gerdan sedikit berwarna.
Hanya Serla, yang mampu memberi coretan warna abstrak pada dunia kelabunya.
Hanya Serla, si gadis dengan sejuta cerianya. Yang mampu membuat Gerdan begitu merasa dibutuhkan.

Melihat beberapa murid bermain di lapangan basket membuat ingatan Gerdan terlempar pada suatu hari.

Flashback on

Serla menggerutu di belakang Gerdan. Bagaimana tidak, sekarang dia seakan menjadi pembantu baru Gerdan. Yang membawakan tas, handuk, botol mineral, dan bola basket lelaki itu. Lihat saja bagaimana kesusahannya dia membawa itu semua.

"Awas aja ya!" gerutunya pelan.

Gerdan di depannya tersenyum geli. Mau-mau saja Serla dia suruh.

Begitu sampai di lapangan basket, Gerdan duduk di salah satu bangku. Serla seketika meletakkan semua barang tadi di samping Gerdan. Kemudian dia menatap Gerdan kesal.

"Eh ambil bolanya, La." Gerdan menunjuk bola basket yang baru saja menggelinding dengan dagu.

"Lo pikir gue pembantu lo?!" Serla berkacak pinggang.

Gerdan menaikkan alisnya. "Gue kan cuma minta tolong."

"Dari tadi itu nggak minta tolong namanya. Tapi nyuruh!"

Gerdan terkekeh. "Anggep aja itu sogokan agar gue mau ngajarin lo."

"Udah deh! Mending sekarang lo mulai ajarin gue, Gerdaannnn." Serla merengek. Jika saja bukan karena Serla yang ingin bisa bermain basket lewat ajaran Gerdan, dia tidak akan mau dikerjai lelaki itu dari tadi.

Gerla (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang