EMPAT

37.8K 2K 33
                                    

“Ma, sakit.” Ardan terus saja merintih kesakitan. Ia meringkuk sembari mencengkram erat perutnya.
Mama Ardan melirik panik ke jok belakang lewat kaca spion. “Tunggu bentar lagi. Bentar lagi sampai kok.” Mama berusaha terlihat tenang. Namun sekuat apapun mama mencoba untuk tenang malah berefek sebaliknya. Bukamnya terlihat tenang, Mama malah terlihat semakin panik seiring rintihan sakit Ardan.
“ah, sampai.” Mama menghentikan mobilnya di depan pintu Unit Gawat Darurat. Ia segera beranjak memanggil beberapa petugas untuk membantunya membopong tubuh besar Ardan.

Tubuh besar Ardan dibaringkan di atas brankar. Beberapa petugas yang menangani Ardan segera membawa Ardan untuk diperiksa.

“Sakit!” Ardan masih saja mengerang kesakitan.

Seorang perawat menghampiri Ardan, menatapnya dalam diam. “Mohon maaf bapak, yang sakit sebelah mana?”

“Pe-perut. Cicit Ardan.

“Perut sebelah mananya, Pak?” Tanyanya lagi.

Ardan memejamkan matanya tanda geram. “Arghh! Banyak tanya lo. Dokternya mana? Cepetan, gue udah nggak tahan.”

Perawat itu mengangkat sebelah alisnya keheranan. “Saya yang akan menangani bapak selagi Dokter Azril menuju ke sini.” Ucapnya sopan.
“Aish! Gue nggak bisa nunggu lagi. Cepetan, panggil doktenya ke sini!” Ardan menatap perawat itu garang.
Perawat itu menghembuskan nafas kesal. Bukankah ia sudah bilang bahwa ia yang akan menanganinya?

“Maaf, Bapak. Dokter Azril sedang di perjalanan. Mungkin setengah jam lagi sampai. Untuk saat ini, saya yang akan menangani Bapak.” Perawat itu mencoba menahan kesal. Mau bagaimanapun lagi, kesembuhan pasien adalah kunci utama pekerjaannya. Terlebih lagi, ia sudah khatam tentang cara menangani pasien yang bebal macam bapak ini.

Perawat lain memasuki bilik Ardan. Di tangannya terdapat sebotol cairan infus, selang, dan beberapa suntikan. “Lo pasangin infus aja dulu, nih.”

“Oke.” Seru perawat yang bertugas menangani Ardan.

“Tapi inget, sesakit apapun yang pasien rasakan, jangan sampai lo suntik pereda nyeri.”

“Iya-iya.” Perawat itu mengangguk paham, sejurus kemudian ia meletakkan botol infus beserta teman-temannya ke atas meja.

“Bapak, saya akan memasang infus ke tangan Bapak.” Perawat itu bersiap mengenakan sarung tangan. Tak lupa, ia juga menyiapkan alat-alat yang ia butuhkan untuk pemasangan infus.
“Infus?” Mata Ardan membulat sempurna. Infus? Di infus sama saja di suntik. Suntik? Ia harus di suntik?

Perawat dengan name tag Anindya Fauziah itu mengangguk paham. Sejurus kemudian ia bersiap untuk menusukkan abocath  di tangan kiri Ardan.

“L-lo mau ngapain?” Ardan berjaga - jaga jika perawat itu akan menusuknya dengan jarum sebesar itu.

Perawat itu menghela nafas kesal. “Bapak nggak liat? Saya bawa mau masang infus.” Serunya.

“Bapak pala lo peyang! Gue bukan bapak lo.” Ardan memelototkan matanya. Perawat itu menghela nafas kasar. Ia maju selangkah mendekati Ardan.

“Lo jangan berani deketin gue.” Ancam Ardan.

“Anda mau sembuh nggak? Ini cuma infus.” Ucap perawat itu jengkel. Perawat itu mengoleskan alkohol pada pembuluh vena yang akan ia tuju.

“Eh, elo jangan berani pegang - pegang. Bukan mahrom!” Seru Ardan.

“Ini saya pake sarung tangan.” Ucap perawat itu gemas.

“Lo kalo di bilangin nggak usah nyolot.” Ardan menatap tajam perawat itu.

“Elah susah amat dibilangin.” Segera saja perawat itu menghujamkan jarum  ke arah Ardan.

“Mama! Sakit!” Ardan berteriak histeris.

“Otot aja kayak gajah, tapi nyali kayak semut.” Cibir perawat itu.

Ardan (END)Место, где живут истории. Откройте их для себя