15. Kembali Menorehkan Luka

22.9K 1.3K 53
                                    

Acha dan Bagas keluar dari mobil kemudian keduanya masuk ke dalam rumah Acha. Mereka berdua sama-sama bingung atas kehadiran Bunda dan Kahfi di rumah Acha. Acha menyalami Bunda dan Ibunya. “Ibu tinggal ke dapur ya,” kata Ibu Acha yang diangguki oleh Acha.

Gadis itu duduk di sofa diikuti Bagas. Mereka berdua tak lepas dari pandangan Bunda dan Kahfi. Bagas sendiri menyadari kalau Bunda menatap dirinya tak suka. Pasti karena berdekatan dengan Acha, dan juga Kahfi yang mengadu.

“Bunda semalam menghubungi kalian, tapi gak ada yang jawab. Kalian semalam ada di tempat yang sama?” tanya Bunda hati-hati. Dalam hati, dia berharap jawabannya tidak.

“Iya, Bunda. Tapi ada apa ya?” tanya Acha kembali. Dia tak berani menatap Kahfi yang bersampingan dengan Bunda.

Jawaban dari Acha justru mengundang amarah Kahfi. Lelaki itu berdiri dan langsung menghajar kakaknya. Acha dan Bunda berteriak lalu memisahkan mereka. Kahfi memandang Acha sedih, “bener ‘kan dugaan gue, lo tuh cewek murahan!”

Ketiga orang itu terkesiap. Disaat Bagas ingin meninju Kahfi, tiba-tiba Ibu Acha datang dengan emosi. Dia mendengar semuanya. “Saya gak terima ya, anak saya disebut cewek murahan! Tolong jaga mulut kamu! Pantes aja Acha gak mau sama kamu, saya saja orang tuanya gak suka sama perilaku kamu.”

Bunda merasa tidak enak dengan kejadian ini. “Bu, maafkan anak saya. Acha, maafin Kahfi ya,” ucap Bunda pada Acha dan Ibunya. Tatapan Bunda beralih  pada Bagas dengan marah. “Kita pulang sekarang,” tegas Bunda. Usai berpamitan dengan pemilik rumah, mereka bertiga pulang ke rumah.

Sampai di rumah, Bunda mencegah Bagas untuk ke kamarnya dan hanya membiarkan Kahfi yang pergi. “Kamu tuh udah kelewatan tau gak? Kamu pergi sama Acha yang jelas-jelas dekat sama adik kamu. Adik kamu itu suka sama Acha, bisa gak kamu hargai itu?” bentak Bunda.

“Ada apa ini?” Sang kepala keluarga datang dengan tatapan bingung mendengar keributan antara anak dan istrinya itu.

“Ini nih anak ayah, kebiasaannya gak pernah berubah. Dia selalu mengambil sesuatu yang berharga dari Kahfi.”

“Kahfi gak pernah suka sama Acha. Dia hanya terobsesi, Bun. Mereka bahkan gak pacaran, Kahfi hanya mengatakan ‘Acha milik gue’, ‘dia milik gue’. Bunda bayangin gimana rasanya jadi Acha! Dia sakit hati, Bun. Bagas bawa Acha pergi ke pantai, agar dia gak sedih lagi karena Kahfi,” papar Bagas. Dia sungguh kesal dengan wanita di depannya.

“Acha sedih karena Kahfi? Maksud kamu?” tanya Bunda.

“Bagas udah dengar dua kali Kahfi mengucapkan kata-kata menyakitkan itu, ‘Acha adalah wanita murahan’. Barusan, dan kemarin. Dia gak pernah bisa kontrol mulutnya, dari dulu sampai sekarang.”

“Tapi dia berkata seperti itu pasti karena lihat kamu lagi sama Acha. Kamu tuh dari dulu suka merebut sesuatu dari Kahfi, yang parah tuh kamu merebut cewek-ceweknya dia. Kenapa sih? Kamu iri?” tuduh Bunda.

“Bunda!! Jaga ucapan kamu!!” bentak ayah.

Bagas sedih dan kecewa mendengarnya. “Aku? Merebut kebahagiaan Kahfi? Gak kebalik? Dia Bun yang dulu membuat kebahagiaanku pergi, pergi jauh. Dia yang menyebabkan orang tuaku meninggal dunia. Dan cewek-ceweknya Kahfi aku rebut? Salah besar! Dulu, aku sama Inggit berpisah karena siapa? Karena Bunda dan Kahfi! Giliran aku melepaskan dia, Bunda lihat, Kahfi menyiakan kesempatan itu. Tapi Bunda selalu membela dia! Kenapa? Karena aku bukan anak Bunda? Iya? Aku kecewa sama Bunda.” Bagas mengeluarkan dompet, kunci mobil, jam tangan dan gadgetnya. “Aku bukan anak kandung Bunda. Silakan Ayah, Bunda dan Kahfi urusi perusahaan, aku kembaliin semua barang-barang yang bukan milik aku. Aku akan lepas dari keluarga ini dan hidup mandiri. Terima kasih atas semua yang keluarga ini berikan untuk Bagas.” Bagas mencium punggung tangan Bunda dan ayah angkatnya sebelum mmeninggalkan mereka yang saat ini menangis menyesal. Sungguh, ini sangat berat untuk Bagas, tapi dia juga tak tahan jika terus dibedakan seperti itu.

“Maafin Bagas, Bunda.”

***

Kahfi membawa bucket bunga dan cokelat ke sekolah. Dia mendengar semua perkataan Bagas kemarin malam dan dia terkejut mengetahui bahwa Bagas bukan saudara kandungnya. Tapi Kahfi akan mengurusi hal tersebut nanti, sekarang dia menuju ke tempat dimana Acha sedang duduk dengan tubuh tidak bergairah. Seketika dia merasa bersalah pada gadis itu.

Kalina dan Vanessa yang merasakan kehadiran Kahfi kompak menyenggol Acha. “Apaan sih, ah? Jangan bikin mood gue tambah turun.” Tapi kedua temannya itu terus menyenggol Acha. Gadis itu kesal lantas menoleh kepada kedua orang itu, namun tak sengaja matanya menangkap kehadiran Kahfi di kursi yang berada di depannya. Wajahnya berubah datar lalu melengos.

“Cha,” panggil Kahfi, tapi tak disahut Acha. Perempuan itu justru memasang earphone di telinga dan menelungkupkan kepalanya diantara lipatan tangan. Kahfi memberikan tatapan dingin kepada setiap
penduduk kelas, menyiratkan kepada mereka untuk meninggalkannya bersama Acha. Setelah dirasa di kelas itu hanya ada dirinya dengan Acha, Kahfi duduk di sebelah Acha dan mencabut earphone di telinga gadis itu.

Sontak Acha menoleh dengan raut kesal. “Gak usah ganggu gue!” sentak Acha. Dilihatnya Kahfi meletakkan bunga dan cokelat di hadapannya. “Apaan? Maaf? Gue gak butuh! Mending sekarang lo keluar dari sini, gak usah deket-deket sama cewek murahan kayak gue.”

Kahfi menggelengkan kepalanya dengan wajah panik. “Nggak! Kamu bukan cewek murahan. Kamu berlian buat aku.”

“Gue udah gak bisa terima basa-basi dari lo. Jadi, mending cabut dari sini!” usir Acha.

Bukannya pergi seperti yang Acha minta, Kahfi justru merengkuh Acha. Dia mengeratkan pelukannya ketika Acha memberontak. “Maaf, aku minta maaf selalu buat kamu kecewa. Jangan kayak gini, aku takut kamu pergi.”

Acha berhenti berontak. Ia mengernyitkan dahi saat merasa tubuh Kahfi bergetar disertai isak tangis. “Lho, eh, kok nangis?” Sekarang Acha yang panik. Dia orangnya tidak tegaan dan mudah baper. Sekalinya ada lelaki yang menangis, dia bakal luluh.

“Jangan tinggalin aku,” pinta Kahfi.

Karena sedang dilanda kebingungan, Acha reflek menganggukkan kepala. “I-iya. Jangan nangis lagi. Sekali lagi ngata-ngatain, aku beneran gak akan maafin kamu. Masih banyak cowok lain yang mau sama aku.”

Kahfi tersenyum senang, tapi tak dapat menutupi rasa tak sukanya juga saat Acha membahas cowok lain. Dia menyodorkan kembali bunga dan cokelatnya. “Diterima, ya. Nanti sore aku jemput, kita kencan biar kayak di drama-drama korea yang kamu tonton.”

Acha mendengus. “Kencan, kencan,” ejeknya.

“Yaudah aku balik ya,” pamit Kahfi.

“Hus! Pergi sana! Kasihan temen-temen aku diusir kamu. Kelas punya siapa, yang ngusir siapa,” usir Acha.

Kahfi menghela napas, mengacak-acak rambut Acha kemudian melangkah keluar kelas. Tak lama dari itu, masuklah teman-temannya diikuti dengan siulan-siulan penuh godaan. “Yang baru jadian jangan lupa PJ-nya,” kata Ilham.

“Jadian apanya, digantung gue,” kesal Acha.

Teman-temannya malah menertawakan Acha. “Sabar raja, Cha. Tunggu sampe kering.”

“Keburu dicuri orang kayak jemuran orang,” kata Acha dan memakai kembali earphone. Kemudian menelungkupkan kepala dan mengabaikan ejekan dari teman sekelasnya.

***

Possessive KahfiWhere stories live. Discover now