Kumcer 4 - V.V.V

173 75 40
                                    

Sebenarnya, aku ingin saja bersembunyi di tempat manapun asal aku tidak berada di dalam ruang kelas ini dan mengikuti MOS hari pertama di SMA Garuda Indonesia. Malas. Ya, kalau boleh, aku ingin ijin sakit saja.

Aku tidak suka melihat kelakuan kakak OSIS yang bersikap sok galak, penuh kesadisan terselubung dan besikap super senioritas. Padahal kan, kita yang kelas 10 adalah adik kelas yang harusnya mereka bimbing.

Bukannya dimaki-maki nggak jelas, dimarahin sampe mampus, atau di suruh menghitung banyaknya biji kacang hijau di dalam mangkok seperti yang sedang aku lakukan hari ini. Kurang kerjaan banget, kan?

MOS kan harusnya masa-masa untuk kami yang kelas 10 mendalami karakter kami, mengenal lingkungan baru, bersosialisasi, dan mengetahui lebih dalam tentang sekolah yang akan menjadi rumah kedua kami 3 tahun ke depan.

Bukan ajang para kelas 12 membalas dendam.

Ini nih, yang bikin Indonesia gak maju-maju.

"Heh kamu! Yang culun pake kacamata! Bisa ngitung gak sih? Masa di TK gak diajarin? Atau, kakak harus ngajarin berhitung lagi? Hitung yang bener!!" Teriak Shera, salah satu kakak OSIS kami yang wajahnya super duper nyeremin.

Bukan kayak hantu atau apa, hanya saja, aura yang dimiliki Kak Shera sangat sarat akan kekejaman. Bukan berarti ia kejam—walaupun saat seperti ini kekejamannya muncul—ia tetap seorang wanita yang anggun dan elok gerak-geriknya. Tapi ya itu, OSIS membuatnya bermuka dua.

Apa sih, aku ini. Kelihatan kesal banget ya, sama mereka?

"Vinda! Kamu cepetan hitung! Aku udah dapet 2003 nih. Di kamu berapa?" Andin—salah satu teman baruku yang kebetulan sekelompok bersama denganku menghitung biji kacang hijau ini bertanya sambil berbisik.

YAAMPUN.

Aku. Lupa. Jumlahnya.

"Din, aku lupa mampus. Ah, bodo, bilang aja nanti 2000 biji yak." Kataku pada Andin yang sekarang membelalakkan matanya lebar.

Dia mendekat lagi ke arahku. Sedikit berbisik lagi—ya agar kakak OSIS tidak mendengar percakapan kami dan agar kami tidak di hukum atau dimarahi 1 jam lebih. "Mau mati kamu ya? Mereka bilang, mereka tau jumlahnya dalem semangkok. Kalau salah kita bisa dihabisin."

"Yakali mereka ngitung. Kurbel banget. Bodo ah!" Aku langsung mendengus kesal setengah mati. Pegel semua badanku menunduk ke arah meja yang tingginya separuh badanku. "Kamu saja yang hitung Din, aku malas."

"HEH KAMU! DI BANGKU TENGAH!"

Aku tidak salah mendengar kan? Seseorang menyebut bangku tengah yang mana adalah tempatku dengan Andin berdiri. "Ya?" Jawabku sekenanya.

Aku melihat kakak OSIS itu menghampiri kami. Dia laki-laki bertubuh jangkung dan lumayan ganteng dengan rambut berjambul ala Manu Rios—salah satu selebgram favoritku. Aku lupa siapa namanya. Maklum, aku tidak pandai menghafal nama.

"Sudah menghitung berapa biji kalian? Dari tadi mengobrol saja," ujarnya dingin. Aku merasa 32 siswa MOS di ruanganku menatap ke arahku dan Andin di waktu yang bersamaan. Ah! Lututku jadi lemas mendadak mendengar suaranya.

"Kalian tahu, siapa saya?" tanyanya lagi.

Memang, perlu ya? Siapa juga dia. Nilai kami juga tidak akan bergantung padanya. Jadi, harus banget tahu dan kenal dengannya?

Aku melihat Andin sudah menundukkan wajah tak berani menjawab apalagi mengeluarkan sepatah katapun. Sedangkan aku tidak tahu siapa dia. Jadi, aku berusaha mencari alasan agar kami bebas. Namun, sepertinya tetap saja kami akan dimarahi habis-habisan.

HarmoniWhere stories live. Discover now