Kumcer 11 - Angkot, Kamu?

74 37 20
                                    

Pukul lima sore adalah waktu yang benar-benar dibutuhkan untuk segera pulang. Kalau kata nenek, "Jangan pulang di waktu maghrib, di bawa kolong wewe."

Waktu kecil, mendengar kata 'kolong-wewe' tentu membuat bulu kudukku berdiri, merinding. Tapi sekarang, aku sudah SMA! Sudah dewasa.

Jadi, disinilah aku berada, di depan gerbang SMA Adi Brata yang membuatku pulang selarut ini. Ya, aku mengikuti kegiatan ekstrakulikuler marching band. Padahal, biasanya pukul empat sore aku sudah duduk selonjoran di depan laptop sambil memikirkan apa yang akan aku tulis untuk blog milikku.

"Sial," aku mendumal kesal. Sebab, baru saja Ayah menelepon kalau ia lembur di kantornya, jadi tak bisa menjemputku. Akhirnya aku memilih menelepon Ibu. Tapi benar saja dugaanku, jawaban ibu sama saja seperti Ayah.

"Yaampun Diva, kamu belum pulang? Ibu sedang ada di arisan Jeng Mutia. Kamu panggil Grab atau nebeng temanmu saja ya." Jawab Ibu ketika di telepon. Tentu saja aku menolak, "sekolah udah sepi, Bu."

Ibu menghela napas panjang di balik telepon. "Duuh ribet banget sih, kamu. Udah ah, mandiri, jangan manja. Nanti Ibu pulang jam 7."

Dan telepon dimatikan sepihak, oleh Ibu. Aku menarik napas panjang-panjang, membuangnya. Ku lakukan hal itu untuk menjernihkan pikiran dan meredamkan emosiku.

Begitulah, keadaan keluarga kami.

Ayah, yang memilih bekerja sampai pulang larut karena menggantikan jam lembur teman-teman kantornya, bahkan terkadang Ayah nggak pulang ke rumah. Sedangkan Ibu, tak ada bedanya. Ikut kelas sosialita di komplek perumahan bareng teman-teman sosialitanya yang lain. Bergaya selangit padahal mereka juga ngutang ke Bu RT, kok.

"Angkot ada gak ya, jam segini?" Batinku mendesah pasrah. Apa aku jalan kaki saja? Ya paling patah tulang aja kalau jalan kaki pulangnya.

Opsi pertama tidak mungkin.

"Angkot aja deh," akhirnya keputusanku bulat. Lalu aku berjalan dengan berat hati ke halte di seberang gerbang sekolahku.

Menunggu 1, 2, sampai 5 menit, tapi tidak ada angkutan umum yang lewat. Aku mulai gelisah, bahkan ketika ada seseorang yang tiba-tiba duduk di sebelahku.

Anjir, kok merinding ya...

Aku menunggu lagi sekitar 7 menit. Dan akhirnya, angkutan umum berwarna merah yang penuh dan sesak berhenti di depanku. Sesaat, aku ragu, penuh banget, duduk dimana?

Tapi buru-buru aku melangkahkan kaki. Yang penting sekarang aku bisa pulang dengan selamat. Eh tapi, dengan tiba-tiba, lelaki yang duduk di sampingku tadi juga memasuki angkot yang sama. Akhirnya aku duduk sempit-sempit di sebelah ibu-ibu, dan laki-laki itu duduk di sampingku juga. Ugh, tambah sesak.

Angkot pun berjalan, akhirnya aku mengeluarkan ponsel dan memainkannya selama beberapa menit. Tapi, sepertinya Dewi Fortuna sedang tidak berpihak padaku. Tiba-tiba ponselku mati dan menyisakan gambar petir berwarna merah—low batt.

Sial! Rutukku dalam hati.

Kemudian aku mendengar dehaman lelaki yang kuketahui bernama Ihan dari kelas IPS 8. "Ngangkot, lo?"

Aku mendesah pelan. "Gak ada yang jemput, Han."

Ihan kemudian mengangguk-anggukkan kepala. Lalu sibuk dengan ponselnya sampai aku bertanya pertanyaan paling bodoh yang pernah aku tanyakan. "Rumah lo dimana, Han?"

YA AMPUN! Siapa sih, yang gak tahu rumah Ihan? Yang katanya anak arsitek. Tinggal di perumahan elit di Jakarta dan bahkan punya mobil sport-nya sendiri. Tapi, aku malah menanyakan hal yang hampir semua siswa-siswi Adi Brata mengetahui jawabannya.

Ihan terkekeh. "Biasa aja. Di komplek C," jawabnya kecil.

Diva goblok! Tak henti-hentinya aku merutuki diriku sendiri.

Untuk itu, aku lantas duduk diam mematung memandangi jalan-jalan dan bangunan lewat kaca jendela. Menunggu kapan aku akan sampai ke rumahku lagi dengan selamat, dan puas mengolok-olok kebodohanku hari ini.

Aku tak lagi menatap Ihan yang sepertinya sibuk dengan ponsel.

Sebenarnya waktu berlalu cepat, 15 menit kemudian, aku sampai di komplek perumahanku. Lantas aku mengeluarkan lembar uang sepuluh ribu, memberinya pada kenek angkot lalu menunggu kembalian. Tapi sayang, si bapak-bapak angkotnya lama mencari uang kembalian. Alhasil aku saling tatap dengan Ihan.

Ihan lalu mengeluarkan dompetnya. Mengeluarkan lembar uang 5 ribuan. "Pak ini aja, yang itu kembalikan."

Aku berniat menolak tapi keburu ditahan olehnya. "Ribet. Ngangkot aja pake 10 ribuan, sok lo."

Ya, bukan gitu sih, maksud aku. Kan emang uang sakuku sisa 10 ribu?

"M-makasih." Buru-buru aku turun dari angkot dan segera berpamitan dengan Ihan. "Gue duluan, Han. Sekali lagi thanks."

Ihan hanya menggumamkan kata 'Ya' dan aku tidak perlu lagi menatap wajahnya. Dengan langkah cepat, aku berjalan ke dalam komplek, mencari letak rumahku agar bisa segera membersihkan badan dan menyegarkan pikiranku lagi.

Tanpa aku ketahui, Ihan ternyata juga turun dari angkutan umum yang kami naiki tadi, dan tanpa aku tahu jua, ia memasuki mobil sport berwarna silver.

Aku mengingat satu pertanyaannya tadi, "besok gue ngangkot lagi. Lo?"

Sebenarnya aku tidak yakin, tapi aku jawab saja. " Angkot, kamu?" tanyaku dengan tidak yakin.

"Ya, angkot juga."

Percakapan kami usai sampai disitu. Sebenarnya, Ihan, kamu sedang apa?

Mempermainkan hatiku kah?

***

HarmoniWhere stories live. Discover now