1. Acquittance

6.6K 663 105
                                    

Laura menghentikan kayuhan sepedanya di hadapan bangku kayu pinggir jalan, ia menghela napas bahagia seraya menjatuhkan bokong ke atas kursi. Hari ini resmi sudah ia lepas dari segala tetek bengek problem pada masa sekolah akhir dan tiada lagi kegalauan soal kuliah; bulan depan ia akan ke Jerman demi memperjuangkan gelar sarjana, tentunya di jurusan astronomi yang sudah ia idam-idamkan. Dan Laura sangat bersyukur sebab cuaca begitu mendukung perasaan; cerah, anak-anak yang bermain bahagia di taman seberang jalan, dan ada kue hadiah dari seorang teman.

Akan tetapi, semesta selalu punya kejutan untuk Laura.

Seorang laki-laki asing yang tidak tidak pernah gadis tersebut lihat sekonyong-konyong duduk di ujung berlawanan dari bangku. Mengenakan coat cokelat gelap dengan topi biru—yang segera dilepas dan diletakkan di sampingnya. Laura berupaya cuai dengan aksi si lelaki, tapi ternyata malah orang asing tersebut yang acuh terhadap si gadis.

Sebuah tawaran singkat dibuat ketika Laura menggigit cookies-nya dan membuat air muka tak senang. "Kau mau tukaran kue dengan milikku?"

Satu senyum kikuk dilempar Laura. Otaknya memutar dua kemungkinan; kalau memang si pria berambut cokelat itu baik, skeptis dengannya membuat Laura terkesan seperti orang jahat; jika ia jahat, percaya akan membuat si gadis jatuh ke lubang yang entah sedalam apa. Yang ia ingat dari kalimat ibunya adalah, selalu lebih baik untuk mempertimbangkan kemungkinan terburuk—pun toples di atas pangkuannya menampung kue dari orang yang spesial. Lantas Laura hanya tersenyum sekenanya. "Tidak, terima kasih."

Ada hening yang terasa canggung selama beberapa puluh detik, dan Laura telah berniat untuk hengkang dari sana kala vokal orang asing tadi kembali muncul. "Tidak ada yang salah untuk tidak mempercayai orang asing. Banyak kejadian yang membuat kita mengalami trust issue, jadi sikap berhati-hati adalah hal yang paling baik. Namun, tinggallah, aku tidak berniat jahat—kalau kau mau percaya—dan matahari masih agak tinggi, hanya penjahat bodoh yang akan melakukan aksinya."

Dahi Laura berkerut sebal. Ia tidak tahu bahwa pria ini jahat atau tidak, tapi yang pasti ia agak bodoh—pun jenius karena tetap menggagalkan rencananya untuk minggat. "Kau pikir bicara seperti itu membuatku lebih tenang?"

Satu tawa muncul. "Bicara tanpa embel-embel kak kepada orang yang lebih tua itu tidak sopan."

"Mana aku tahu kau lebih tua atau tidak."

"Namaku Kim Taehyung, 22 tahun. Tinggal di hunian baru nomor 14i, ke sini untuk melakukan beberapa penelitian kecil bersama seorang bernama Park Jimin. Sekarang sudah tahu 'kan? Ditambah beberapa detail juga"

"Dari mana kau tahu aku belum 22 tahun?"

"Baru lulus sekolah 'kan?"

Laura tercengang, berpikir bahwa manusia di sampingnya telepati atau seorang penguntit ulung.

"Tolong jangan berpikir yang aneh-aneh, aku tadi melihat berkas universitas dan jaket sekolah di keranjang sepedamu, jadi seharusnya kau berada di antaranya."

"Kesimpulan yang menarik." Laura terkekeh. "Tapi, memang aku bisa percaya dengan kata-katamu?"

"Tidak, tapi kau bisa menemaniku mengobrol."

Memancing gadis yang jati dirinya belum sepenuhnya jelas tentu tidak sulit bagi seorang Taehyung, cukup meyakinkan diri bahwa ia berani memberikan nomor telepon dan beberapa cuil kisah tentang dirinya, maka ceruk bibir Laura akan ikut menggulirkan cerita hidupnya. Mungkin memang tidak sepersonal Taehyung, tapi setidaknya cukup membuat lelaki tersebut membunuh waktu.

Laura bercerita tentang bintang-bintang di langit yang lebih indah dibanding bulan, mereka dapat bersinar sendiri, dan mereka menjalani hidup yang sulit sebelum atau sesudah cahayanya ada

"Terima kasih untuk segala insight kuliahnya ya, Kak Taehyung, see you later."

"Of course, take care, Lau—"Sebuah teriakkan mengalihkan atensi Taehyung. Maniknya mendapati seorang bocah—tetangga kecilnya, Haruna—dengan rambut panjang diikat kuda terjatuh dan menangisi dress-nya yang kini robek gara-gara tersangkut di pohon. Ibunya buru-buru menggendong si bocah, tapi tangisannya tak mau juga berhenti. "Aw, kasihan sekali, padahal ia sangat sayang dengan bajunya itu."

Laura menatap anak lelaki di seberang jalan, lantas ikut-ikutan bersedih. "Semoga saja ibunya dapat membelikan baju baru baru—dengan warna yang lebih baik dari oranye pastinya." Ya, Laura benci warna oranye.

Sebuah wajah tak yakin dilempar Taehyung bersama tawa mungil. "Laura, aku tidak tahu wanita bisa seburuk itu dengan warna, tapi untuk warna oranye muda itu agaknya bisa disebut krem."

Sebuah sangkalan siap Laura layangkan, tapi ia berpikir bahwa berdebat dengan lelaki soal warna itu sama saja bodoh, jadi tangannya segera melambai dan tungkainya mengayuh sepeda—abai pada wajah Taehyung yang jadi memperhatikan bocah tadi lagi.

♣️♠️♣️

I'm so done with myself, tiba-tiba gila bikin cerita ginian dalam waktu 5 jam (yes, tinggal endingnya doang yang belum, maafkan kekacauan dunia). Semoga bisa di-update setiap harinya, satu chapter bakal pendek-pendek, pokoknya under 1000 words semua.

XX,

merlotnoir

Oak Tree and The NeighbourhoodWhere stories live. Discover now