2.1 Friend

2.6K 501 64
                                    

Genap dua minggu telah mereka saling mengenal dan mengobrol rutin—minimal dua hari sekali. Pun bulat sudah konklusi Taehyung bahwa ia jatuh hati pada si gadis. Laura berbeda—klise, oke, Taehyung tidak peduli—ia bukan wanita pendiam yang lembut, bukan juga periang yang suka bermain di bar dekat kampusnya dulu; Laura itu berada di antara, meniadakan apa yang menjadi penghalau Taehyung, dan meleburkan segala yang lelaki tersebut cintai.

Berbincang berdua itu menjadi candu bagi Taehyung. Kalau boleh jujur, sebenarnya ia tidak enak memiliki tujuan untuk mendekati Laura sebagai ... ya, kalian tahu apalah. Laura itu masih "suci" kalau dibandingkan dengan Taehyung. Memang tutur katanya suka seenak jidat tidak pernah disaring, tapi ia belum tahu bagaimana rasanya digoda alkohol atau kenikmatan seks. Dan Taehyung mau menjaga gadis itu untuk tetap sama, mengikutinya ke Jerman kalau perlu sehingga tidak rusak pula shock oleh budanya luar. Sayang, kalau dipikir-pikir atau diucapkan secara langsung, malah jadi Taehyung yang terdengar seperti penguntit—atau penyuka konsep sugar daddy.

Sebulan bagi lelaki tersebut terasa begitu cepat; gelisah yang mengganti dirinya setiap malam tumbuh bagai Gunung Everest's. Kalau tidur harus memimpikan Laura, bangun-bangun berharap cepat sore, sudah sore ia mengharapkan waktu akan berhenti sehingga mereka selalu bersama. Taehyung itu sudah sinting. Dan percayalah, saat matahari mulai menyentuh horizon barat dan Laura mengatakan perpisahan di bangku taman, Taehyung belum memikirkan keputusannya matang-matang, tapi ceruk bibirnya terlanjur mengucap frasa tersebut.

"Jadi, kapan kau akan berangkat?"

"Lusa, Kak. Kenapa?"

"Laura,"—sebuah helaan napas—"aku tahu mungkin ini terdengar mengerikan dari seseorang yang baru mengenalmu selama satu bulan. Yet, I think, I love you and I want to know you, your friends, your family. Of course, if you let me."

Gadis di hadapan Taehyung geming, lantas lelaki itu sudah menyusun rencana untuk lompat dari lantai dua karena kebodohannya, atau mungkin sekalian saja gila menyanyikan serenadedi bawah jendela Laura malam nanti—tidak, Taehyung belum seabnormal itu. Untungnya juga, dalam dua detik hening yang mencekam tadi diubah Laura menjadi sebuah nirwana—bagi Taehyung. Kalimatnya elok pun magis. "Ya, tentu, Kak, aku yakin ayah ibuku akan menyukaimu." Laura tertawa kecil. "Mungkin aku hanya remaja bodoh, tapi semoga saja tidak."

Senyum semeringah hadir di paras si lelaki. "Kalau begitu lusa aku akan ikut mengantarmu ke bandara—sekaligus berkenalan dengan orang tuamu."

"Tentu." Satu anggukan mantap dilempar Laura. "Oh, I'm gonna miss the oak tree and you very much."

Sebuah pertanyaan tentang pohon oak yang dibicarakan Laura sudah disiapkan oleh Taehyung, tapi ia tidak berniat merusak momen ini. "You don't need to miss me, I'm gonna call you every daaay—or I'll go there."

Mereka tersenyum, lalu kembali membayangkan masa depan bersama. Jalan-jalan di Jerman ke bangunan lama, pernikahan—yang segera dialihkan topiknya oleh Laura—dan bintang-bintang di langit yang bersinar cerah, tapi hidup di waktu yang berbeda dengan mereka. Kemudian, ketika Laura pergi dan meninggalkan—calon—kekasihnya selama lima menit, Taehyung baru memikirkan hal yang terjadi.

♣️♠️♣️

Bucin banget deh manusia, gak ngerti lagi ((padahal sendirinya yang nulis)). Kalian mengekspektasikan apa buat mereka nih?

XX,

merlotnoir

Oak Tree and The NeighbourhoodWhere stories live. Discover now