Masa Lalu

712 91 17
                                    

Mei melempar tas ke sisi ranjang, kemudian merebah. Secercah gelisah kembali mengusik relung hati, saat kembali menemukan tatapan dari masa lalunya. Brian. Laki-laki yang sekarang telah menjadi bagian kehidupan Lisa, sahabatnya.

Kisah cinta dalam persahabatan memang terdengar basi. Banyak orang yang mengalaminya. Namun, sakit hati Mei akan peristiwa itu butuh waktu berkepanjangan hingga Miko hadir untuk membasuh luka.

Kenangan itu menyeruak, membawa Mei untuk kembali bernostalgia dalam lamunan. Saat ia melepas Brian untuk Lisa di hari lamaran itu berlangsung. Dua tahun lalu.

**

"Kamu yakin benar-benar mencintaiku?" Mei mulai berbicara. Matanya menatap tajam ke mata Brian. Selama ini, ia tahu Brian menyimpan cinta untuk Lisa di atas status mereka yang hampir mendekati kata pernikahan ini.

Segenap mata keluarga besar Mei dan Brian yang tengah ada dalam suasana lamaran itu tercengang. Saling berbisik akan apa yang sedang terjadi. Mama bahkan tampak meremas kedua tangan di atas pangkuan, khawatir.

Sebelah tangan Brian yang hendak menyematkan cincin di jari manis Mei terhenti di udara. Ia memejamkan mata, berpikir keras dengan situasi yang sedang terjadi. Ketika ia membuka mata, Mei bisa melihat ada keraguan dalam iris mata sehitam jelaga itu.

"Sudah sejauh ini, masihkah kamu meragukanku, Mei?"

"Aku hanya butuh jawaban iya atau tidak. Jika kamu tak bisa menjawabnya, aku menyerah." Mei masih menatap mata Brian lurus-lurus.

Laki-laki berbalut kemeja batik itu bergeming, kemudian melepas genggaman sebelah tangannya dari tangan Mei seraya menghela napas. Pasrah. Bibirnya terkatup rapat tak sanggup berbicara lagi.

Mei meraih cincin dari tangannya, kemudian ia mengajak Lisa untuk berdiri di samping Brian. "Kalian semua harus tahu, aku bukanlah remaja galau yang mudah melontarkan keputusan begitu saja. Aku wanita dewasa yang bisa memilih sebuah pilihan hidup yang terbaik, dan siap dengan segala risiko yang telah aku ketahui sebelumnya."

Wanita berambut sebahu yang dituntun Mei itu menggigit bibir. "Mei ...," desahnya. Namun, tak sanggup memenggal segala yang terjadi atas kehendak calon tunangan Brian. Ia mengepalkan kelima jari tangan kirinya, menolak uluran tangan Mei untuk mendekat pada Brian

"Aku akan menjadi sahabat yang egois, bila terus menutup telinga dan mataku akan cinta kalian." Tanpa sadar air mata Mei meleleh membasahi pipi. "Bahagialah, maka aku tak akan pernah menyesal dengan keputusanku ini," pesan Mei dengan suara bergetar.

"Mei ...." Brian meraih tangan Mei. Namun, wanita itu segera menampik perlahan.

Tanpa keraguan lagi, Mei menyematkan cincin ke jari manis tangan Lisa.

"Aku tahu, Lisa yang lebih berhak akan cintamu itu." Mei menghapus air mata dengan kedua telapak tangan. Ditegarkan hatinya untuk menatap ke arah keluarga besar yang sedang menghadiri acara lamaran Brian terhadap Mei. Terutama Mama dan Papa, karena secara langsung ia telah mempermalukan mereka di depan keluarga Brian. Ia tertunduk beberapa detik dengan bibir dan dagu bergetar.

"Semuanya, Mei minta maaf. Tapi aku menyerah karena aku tahu inilah yang terbaik." Mei undur diri dan berlari ke kamar. Ia mengabaikan seruan Mama yang memanggilnya. Begitu pula orang tua Brian yang berusha meminta kejelasan pada Brian. Dikuncinya pintu kamar rapat-rapat. Meringkuk mendekap kedua lutut dalam sepi yang menyayat hati. Untuk saat ini, hatinya terasa kosong karena merelakan calon suami untuk wanita lain—Lisa, dan ditinggalkan laki-laki yang mencintainya—Miko.

"Aku menyerah, maafkan aku. Aku yang salah terlalu egois dalam permainan kehidupan cintaku sendiri. Miko, maaf ...," isak tangisnya meledak begitu saja.

**

"Mei ...."

Sebuah tepukan di bahu menyadarkan Mei dari lamunan panjang. Ia tersenyum saat menemukan Rin membawa secangkir teh hijau.

"Asyik, teh hangat," kekeh Mei seraya bangkit dari rebahan.

"Mikirin apa? Serius amat." Rin mendaratkan pantat ke sisi ranjang dan duduk bersila.

Mei meringis setelah menyesap sedikit teh hijau melalui bibir cangkir. "Tadi habis dari rumah Lisa, terus ketemu Brian," ceritanya. Tanpa sadar ia menghela napas kasar seolah ada beban yang berusaha ia lepas.

"Baper ketemu mantan?"

Lagi-lagi Mei meringis. Kali ini ia selingi dengan menggaruk kepala yang tak gatal. "Ya, Kakak bayangin aja sendiri. Gimana malunya Mei menggagalkan lamaran Brian di depan keluarga?"

"Tapi itu lebih baik, Mei. Apa kamu mau punya suami yang mencintai wanita lain?" Rin sama mengembuskan napas kasar.

Mei meletakkan cangkir ke nakas. Ia kembali merebah, memeluk guling dan tersenyum. "Masa lalu, Kak. Aku mau fokus ke Miko aja sekarang," celetuknya.

Rin menahan senyum sembari memutar bola mata, malas. Sementara Mei hanya mengacungkan kedua jari pertanda perdamaian.

"Dan kali ini, please, jangan ganggu aku," kata Mei, "aku mau video call Miko." Ia menunjukkan ponsel ke wajah Rin dan menahan kikikan geli.

Rin melempar bantal tepat ke wajah Mei sebelum ia beranjak dari kamar. "Dasar!" umpatnya di sela tawa kecil.

Mei tersenyum. Jemarinya lincah menggulir layar ponsel, membuka akun Skype. Beberapa detik, menunggu laki-laki berambut kecokelatan itu menerima panggilan video darinya. Bibir Mei semakin melengkung, menunjukkan deretan mutiara dari balik bibir. Saat wajah itu menyapa dan ....

"Hai, Mei ...."

(09-07-2018)

Selamat malam. Saya kangen Miko, makanya up lagi. :"D

Terima kasih yang sudah baca dan vote. :)

Miko Mei (Antara Jakarta & San Francisco)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon