12 | Rahasia yang tak pernah kuketahui

832 133 16
                                    

12 | Rahasia yang tak pernah kuketahui

Wangi parfum maskulin ala Raphael benar-benar sukses menghancurkan konsentrasiku. Campuran aroma bunga lavendel, mint, dan kayu manis, mungkin? Ah, yang jelas wanginya sangat menenangkan.

Fokus ku hilang, bahkan di saat aku menatap manik matanya yang indah.

Raphael selalu saja tersenyum ketika pandangan kami saling bertubrukan.

Jalanan kota di malam hari ini rasanya kosong sekali meski pada kenyataannya cukup padat. Bunyi klakson yang memekakkan telinga itu seolah berlomba-lomba ingin cepat bebas dari kepadatan lalu lintas sehingga dapat sampai ke rumah tepat waktu sebelum jam malam di mulai.

Para agen dari berbagai macam agensi terkenal mulai berlalu lalang melintas di pinggir jalan. Lengkap dengan berbalut mantel sutra yang halus, kaku, dan tak lupa rapier tersemat di pinggangnya. Tak semua agen berusia tua seperti aku, Kipps, dan Raphael. Mereka kebanyakan adalah anak-anak berusia lima sampai sepuluh tahun ke atas, itupun jika mereka mempunyai sebuah nyali. Tapi, ada yang terpaksa melakukan ronda malam saat jam malam sedang berlangsung untuk mendapatkan uang sehari-hari.

Terkadang aku berpikir, mereka hanyalah anak-anak. Anak-anak yang seharusnya di lindungi oleh orang dewas, tapi sayang sekali, karena kehidupan di kota ini sangatlah keras--sehingga membuat mereka terpaksa melakukan pekerjaan ini.

Klakson-klakson kendaraan tadi semakin terdengar parau saat aku dan Raphael menuruni setiap undakan tangga menuju stasiun kereta bawah tanah.

Tujuan pertama kami adalah Barned's Café seperti yang pada awalnya telah di rencanakan oleh Raphael. Menikmati croissant hangat dengan mentega dan taburan gula bubuk.

"Hi, Raph!"

"Hai, Raphael..."

Raphael mengangguk ramah bahkan membalas lambaian tangan setiap orang yang sesama agen itu menyapanya. Ia tetap bersikap kalem meskipun yang menegurnya adalah para gadis yang berjalan berlawanan arah dengan kami berdua.

"Oh, hi Raphael!" Seruan heboh itu datang dari arah depan kami.

Jauh di depan sana terlihat sosok gadis bertubuh langsing, berwajah cantik nan rupawan, dan tentu saja menggunakan mantel mengkilat kebanggaan agensi yang turun-temurun dari kakeknya. Dan tak lupa rapier itali yang original tersampir di pinggangnya.

Ia melangkahkan kakinya dengan penuh keanggunan menuju ke arah kami berdua.

Tentu saja itu Amber.

"Selamat malam, Raphael." Ujarnya dan mendelik sekilas ketika menyadari keberadaanku.

Kemudian, Amber tersenyum ke arahku. Tersenyum yang bukan sebuah senyuman tulus, melainkan senyuman yang terkesan sangat di paksakan. "Oh, ternyata ada kau juga, Lou Length. Selamat malam."

Aku hanya tersenyum kecil dan mengangguk singkat.

"Selamat malam, Amber. Sedang apa kau di sini? Bukankah biasanya kau menggunakan mobil pribadi?" Tanya Raphael yang masih mempertahankan sikap kalemnya.

Amber tertawa jaim sambil mengibaskan lembut rambut indah bergelombang miliknya ke belakang. "Ah, kau tahu benar diriku seperti apa, Raph. Kau lihat lalu lintas pada jam seperti ini? Sangat padat. Aku lelah menunggu di mobil. Jadi, aku memutuskan untuk jalan sedikit setelah turun dari kereta bawah tanah." Jelasnya.

Raphael mengangguk. "Begitu. Aku harus pergi. Sampai jumpa, Amber."

"Eh? Tunggu dulu, Raph." Amber berdiri semakin dekat di hadapan Raphael sehingga lelaki itu spontan memberhentikan langkahnya. "Kenapa kau berjalan bersama Lou Length? Apa dia..." Amber melirikku sinis. "...rekan baru?" Bisiknya.

Lou LengthWhere stories live. Discover now