27 | Peti mati besi

660 80 9
                                    

27 | Peti mati besi


"Bagaimana cara kau membukanya?" Aku bertanya setelah mendengar perkataan yang mengejutkan dari Raphael.

Raphael ingin membuka sebuah gerbang yang menghubungkan alam kehidupan dengan alam baka. Itu terdengar mustahil, namun setelah aku melihat ekspresi wajah serius milik Raphael, entah mengapa semua itu terdengar tidak mustahil baginya.

"Mudah. Kau juga akan berperan dalam rencana ini, karena hanya kau yang mampu berbicara dan mendengar pembicaraan mereka. Kau punya segala yang aku inginkan."

"Tapi, aku tidak mau. Itu rencana yang buruk dan merugikan banyak pihak!" Aku menolak semampuku.

Raphael tersenyum separuh, lalu berdiri dan berjalan ke belakangku untuk membuka ikatan yang mencekal pergelangan tanganku. Aku mengusap pergelangan tanganku yang terasa sangat keram dan nyeri.

Raphael berjalan kembali ke hadapanku dan membuka ikatan yang ada di kedua pergelangan kakiku, lalu pergi ke arah peti mati besi yang sempat menyita pandanganku tadi. "Kau mungkin akan melakukannya, jika aku memperlihatkan isi peti ini." Dia menatapku sekilas, lalu membuka gembok besi yang ada, "ini terbuat dari besi bercampur perak. Kau pasti tahu dua bahan itu digunakan untuk apa."

Aku tahu benar dua bahan itu digunakan untuk menghalau spirit dan jiwa-jiwa yang bergentayangan, yaitu hantu. Mereka yang sudah mati, namun masih tetap berkelana di dunia orang hidup pada malam hari.

Raphael membuka peti mati besi itu lebar-lebar, kemudian hal pertama yang berhasil mengejutkanku adalah aroma bunga mawar yang sangat menyengat seolah di dalam sana terdapat tumpukan bunga mawar dengan jumlah banyak.

Aku masih senantiasa terdiam di kursi, tapi tatapanku terarah ke peti mati tersebut dari kejauhan. Aku bertanya-tanya ada apa di dalam sana.

Raphael menolehkan kepala ke arahku, "tidakkah kau penasaran dengan ini?" Dia yang tadinya berlutut itu langsung berdiri dengan bahasa tubuh yang seolah mempersilahkan aku untuk melihat ke dalam isi peti mati tersebut.

Perlahan dengan kaki gemetar aku berusaha bangkit, lalu melangkahkan kaki ke arah peti mati besi itu. Jantungku berdegup sangat kencang, aku sama sekali tidak tahu mengapa aku merasakan suasana yang tidak asing ketika peti mati ini terbuka. Aku terus melangkah hingga akhirnya sesuatu benar-benar mengejutkanku.

Aku mematung tepat di samping peti mati besi itu. Aroma bunga mawar kian menusuk ke rongga hidung--nyaris membuatku terlena untuk menebak bahwa di dalam peti itu ada sesuatu yang tidak membuat hatiku kembali teriris.

Semua itu hilang sedemikian rupa ketika yang kulihat saat ini adalah mayat Evans yang masih utuh, berbalut tuxedo yang sangat rapi disertai dasi kupu-kupu yang manis bertengger di lehernya. Tidak ada aroma busuk dari mayat, yang ada hanya aroma mawar yang sangat memabukkan. Aku segera menutup bibir dan tangisanku pecah. Air mata berlinang keluar hingga membasahi wajahku.

Evans ada di sini selama ini. Raphael membuat jasadnya awet dan harum dengan menggunakan banyak bunga mawar segar yang ia tumpuk di setiap celah dekat tubuh Evans hingga tubuhnya terlihat seperti tenggelam di tengah hamparan bunga mawar segar. Sementara tubuh Evans yang menggunakan tuxedo itu di lapisi lagi dengan jaring tipis yang terbuat dari besi bercampur perak asli.

"Ini dia. Mungkin beberapa hari ini kau jarang bertemu dengannya lagi, karena beberapa hari yang lalu aku membungkus mayatnya menggunakan jaring besi itu. Rupanya peti besi ini tidak terlalu efektif, karena dia ada bersamamu selama ini tanpa mengucapkan apa pun. Jelaslah aku langsung bertindak agar dia tidak pergi kemana-mana bersamamu. Lagipula kau tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh sosok tipe tiga seperti dirinya."

Aku bersimpuh di samping peti mati Evans. "Evans..." lirihku pelan tanpa mempedulikan penjelasan bodoh dari Raphael yang menurutku sama sekali tidak mencerminkan seorang makhluk hidup normal. Dia psikopat tidak mempunyai hati nurani.

"Lou... tolong..."

Aku terpejam mendengarkan bisikan parau milik Evans. Dia terdengar sangat kesakitan dan ketakutan. Berbeda daripada biasanya. Aku tidak bisa membayangkan wajah datarnya saat ini ketika mendengar permohonan minta tolong darinya yang sangat menyayat hati.

Raphael benar. Aku tidak percaya dengan kata-kata Evans. Dia sudah memperingatiku, tapi aku tidak percaya. Banyak orang yang ada di sekitarku telah memberikan peringatan, tapi aku tetaplah tidak percaya dan mengikuti akal pikiranku yang kelewat logis.

Aku benar-benar menyesal.

"Kau pasti bisa merasakan keberadaannya yang tidak sebagus dulu lagi, 'kan?" Raphael mendengus sinis. "Dia tidak akan pernah bebas, Lou. Dia tipe tiga yang lemah dan berbeda. Dia tidak akan tenang dan tidak akan pernah bisa pergi ke alamnya sebelum semua urusannya di dunia ini selesai."

Aku diam. Aku hanya menangis sambil terpejam dan tak ingin berhenti mendengarkan suara Evans yang memohon pertolongan.

Sampai akhirnya aku menahan nafas sambil mendongakkan kepala untuk menatap Raphael. "Kenapa kau jahat sekali?! Bebaskan Evans. Dia hanya ingin pergi. Sekarang aku tahu apa yang membuatnya tidak bisa tenang di dunia ini, yaitu kau! Kau dan segala kejahatanmu ini!" Aku membentak Raphael di sela-sela tangisanku yang bahkan tidak bisa kubendung lagi.

Wajah Raphael langsung berubah mengeras. Ia menarik lenganku dengan paksa, lalu membanting pintu peti mati besi milik Evans dan menarikku agar menjauh dari benda itu.

"Apa kau tidak puas dengan jawaban yang aku berikan?! Aku tidak akan membebaskan jiwa siapapun yang terkurung di tempat ini." Kedua matanya mengarah ke atas, "kau lihat langit-langit di atas? Langit-langit itu sudah dilapisi dengan lempengan besi dan tepat di atas sana adalah lima kuburan sejati yang membentuk pentagram. Lima batu nisan besar dan pusat dari wabah ini, Lou. Itulah gerbangnya." Desis Raphael penuh penekanan.

Aku merinding mendengar ucapannya. Aku membayangkan betapa mengerikannya berada di dalam ruangan ini bersama dengan psikopat dan di atas sana terdapat kuburan yang menjadi sebuah gerbang. Aku berhenti menangis detik itu juga. Pantas saja selama aku berada di sini, benakku merasakan sesuatu yang sangat janggal dan menyakitkan. Ternyata semua itu berasal dari pentagram.

"Aku hanya ingin kau membebaskan Evans. Jangan siksa dia seperti ini..." aku kembali menitikkan air mata dan berbisik parau memohon kepada Raphael.

Sekarang misteri itu telah terkuak. Pentagram yang terbentuk dari lima batu nisan berukuran besar dan menjadi sebuah gerbang.

"Mereka menginginkanmu. Itu sudah pasti. Ayahku mengumpulkan mayat-mayat orang dengan kematian aneh. Tertembak, bunuh diri, mereka semua ada di balik dinding dan lantai yang sekarang menjadi pijakan kita ini, Lou. Ayahku dengan ketelatenannya memberi penghalau agar mereka tidak bangkit dan menyerang. Semua mayat itu akan menjadi penuntunmu menuju gerbang nanti dan membukanya." Raphael menatapku dengan tatapan yang amat sangat intens, "aku tidak akan membebaskan Evans sebelum kau melakukan rencana ini."

Aku menggeleng cepat, namun Raphael mencengkeram keras kedua lengan atasku. "Aku tidak mau!"

"Kau harus mau! Dan kau akan kupaksa melakukan itu, Lou." Dia membentakku. Berteriak di depan wajahku.

Aku refleks terpejam dan berusaha melepaskan diri darinya, namun ia langsung menyadari bahwa waktu sudah menunjukkan tepat jam dua tengah malam.

Kemudian, dia menatapku dengan tatapan menuntut. "Sudah waktunya." Dia menarikku keluar dari ruangan.

Aku semakin resah saat tahu Raphael membawaku kembali ke atas.

Dia mau membawaku kembali ke lahan pemakaman.

Dia mau membawaku kembali ke lahan pemakaman

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Lou LengthWhere stories live. Discover now