16 | Tamu yang tak di undang

703 96 5
                                    

16 | Tamu yang tak di undang

Waktu telah menunjukkan pukul tepat sembilan malam. Raphael dengan wajah yang sangat antusias itu terlihat siap untuk menelusuri pekarangan kuburan. Sedangkan Kipps dengan wajah yang tertekuk hanya bisa melipat kedua lengan di dada sambil menunggu Raphael bersiap.

"Ayo, Kipps." Ajak Raphael. Aku bisa melihat dengan jelas Raphael berusaha memisahkan sekat pemisah yang selalu saja dibuat oleh Kipps.

Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain membiarkan Kipps bersama Raphael meskipun pada awalnya aku sudah berkata bahwa Kipps tidak perlu berinteraksi langsung dengan Raphael. Tapi, Kipps layak mendapatkan ini. Dia harus bisa bekerja sama dengan Raphael di luar sana.

Sebenarnya tak hanya Raphael, tetapi agen yang lain juga.

Kipps menghampiriku sebelum ia melangkah ke arah pintu utama. Tangan kanannya mengusap puncak kepalaku seperti yang selalu ia lakukan pada saat hendak pergi.

Dan aku hanya bisa memberikannya senyuman tipis saja. Karena, terlihat percuma jika aku memberikan senyum terbaik yang aku miliki untuk Kipps di saat suasana hatinya tak membaik.

Raphael membuka pintu utama dan membiarkan angin kencang nan astral itu masuk seolah menampar wajahku. Aku memang sedang duduk di lantai--di samping Ocean. Aku duduk menghadap tepat ke pintu yang terbuka lebar saat ini.

Semua terlihat santai saja. Tidak ada yang tegang seolah hanya aku yang merasakan angin itu menampar wajah.

"Tidakkah kalian merasakannya?" Aku bertanya.

Raphael berhenti melangkah begitu juga dengan Kipps yang menoleh bersama Ocean.

Ocean menyentuh pundakku, "Merasa apa, Lou?"

Seharusnya aku tidak bisa merasakan apa-apa, karena ruangan ini sudah di taburi bubuk besi dan perak. Seharusnya kekuatan psikisku sedikit terganggu dan aura-aura psikis di luar sana tidak dapat menembus masuk. Tapi, bagaimana bisa?

Aku menatap Ocean cukup lama. Di dalam manik matanya, aku bisa melihat Ocean bertanya-tanya.

Aku mengusap wajahku cepat, lalu beralih menatap Kipps dan Raphael. "Segeralah kembali agar aku dan Ocean bisa bergantian berkeliling di luar sana." Aku tersenyum hangat. Berusaha menyingkirkan sesuatu yang mengganjal hati dan pikiranku.

Saat pintu utama tertutup seolah menelan dua sosok lelaki itu, aku kembali merasa bahwa angin itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan sesuatu yang ada di luar sana. Angin itu hanya sebagai awalan.

"Kau merasakan sesuatu, Lou? Wajahmu terlihat terkejut tadi." Ujar Ocean.

Aku masih senantiasa memandang pintu utama. "Ada angin." Jawabku dengan nada rendah. Sangat rendah dan hampir seperti aku sedang berbicara dengan diriku sendiri.

"Angin?"

Aku menolehkan kepala setelah mendengar nada bicara Ocean seolah gadis itu tak menyadari kedatangan angin tadi. Aku menaikkan sebelah alisku, "Kau tidak merasakannya?" Tanyaku.

Ocean mengernyit, ia menggelengkan kepala. "Aku tidak merasakan apa-apa. Memang terlihat sangat mencekam ketika Raphael membuka pintu utama, karena aku bisa melihat pemandangan kuburan dari dalam sini. Tapi, aku tak merasakan ada angin yang masuk."

Aku terhenyak. Ingin sekali rasanya saat ini aku menampar wajahku untuk memastikan apakah itu nyata atau tidak. Sebuah angin kencang menerpa wajahku, membuat beberapa helai rambut yang tersampir di pundakku langsung tersibak, tapi Ocean tidak merasakannya.
Begitu pula dengan Raphael dan Kipps. Tidak ada yang menyadarinya.

Lou LengthWhere stories live. Discover now