31 | Mengintip Masa Laluku

670 83 3
                                    

31 | Mengintip Masa Laluku

Aroma rumput basah yang khas menusuk indera penciumanku. Aku yang masih dalam keadaan kedua mata terpejam itupun mengernyit. Aroma rumput basah yang sangat menenangkan. Kicauan burung juga terdengar jelas menyahut satu sama lain sampai akhirnya terdengar bunyi kepakan sayap.

Perlahan aku membuka kedua mataku. Sedikit silau, namun dengan cepat aku melindungi pandangan menggunakan lengan kananku. Cahaya matahari yang cukup terang di pagi hari.

Tunggu dulu.

Pagi hari? Cahaya matahari? Bukankah aku tadi berada di alam baka?

Pandanganku masih mencoba untuk berinteraksi dengan keadaan baru yang lebih terang. Silau, namun lama-kelamaan aku bisa melihat sebuah rumah di hadapanku.

Rumahku. Rumahku yang masih dalam keadaan indah dan terlihat hidup. Isinya dipenuhi berjuta-juta kenangan indah bersama ayah dan ibu serta Lucinda. Aku menurunkan lenganku dan mengedarkan pandangan ke sekitar. Tepat di halaman samping rumah terdapat sebuah pohon ek besar nan rimbun yang di salah satu rantingnya bergantung sebuah ayunan kayu sederhana buatan ayah untukku dan Lucinda. Angin membelai wajahku dengan penuh kelembutan.

Sudut bibirku tertarik membentuk senyuman kecil. Sungguh indah masa-masa itu. Akan tetapi, senyumku kembali memudar ketika ingat bahwa pohon itu sudah kehilangan daya tariknya. Begitu juga dengan rumahku yang sudah tak terlihat bercahaya seperti saat ini. Yang ada di hadapanku bukanlah kenyataan. Dulu sempat menjadi nyata, tapi ini adalah masa laluku. Hanya sebuah masa lalu yang kebetulan diriku berada di dalamnya.

Aku menganggapnya saat ini sebagai mengintip masa laluku kembali.

Aku melangkahkan kaki perlahan menyusuri jalan setapak pekarangan depan rumahku yang mengarah langsung ke tangga teras. Kakiku melangkahi satu persatu undakan kayu hingga tibalah aku berdiri di depan pintu rumah.

Aku menghela nafas dan mengangkat tangan kanan untuk mengetuk. Aku tersenyum miris. Aneh rasanya mengetuk pintu rumah sendiri seperti sedang bertamu. Bagaimanapun juga aku tetap mengikuti arus masa lalu ini membawaku ke mana.

Baru saja aku hendak mengetuk, terdengar bunyi gerendel pintu di geser dari dalam. Aku segera menurunkan tanganku kembali ke sisi tubuh.

"Louissa!"

Aku tersenyum. Itu ibu. Malaikat tak bersayap yang rela menjadi pelindungku dari keburukan apa pun. Beliau tersenyum begitu bahagia. Sangat-sangat bahagia dengan kedua mata yang terlihat berbinar. Aku bahkan merasa gamang mengingat kapan terakhir kali aku menikmati tatapan berbinar serta senyuman lebar yang ia miliki.

Ibu menoleh ke belakang, "Thomas! Lucinda! Lou kita baru saja pulang."

Aku mengusap sudut mata yang hendak mengeluarkan air saat ibu masih mengalihkan pandangannya dariku. Karena tak lama setelah itu terdengar bunyi langkah kaki berebutan yang bisa ku tebak adalah ayah dan Lucinda.

"Loui!"

"Ah, gadis kecilku."

Lucinda berlari ke arahku dan memelukku dengan sangat erat. Sangat-sangat erat sampai aku bisa merasakan kehangatannya, menghirup aroma mawar yang menempel di rambutnya. Sementara ayah berdiri menunggu Lucinda selesai memelukku.

Ayah mengusap rambutku dan menepuk pundakku. Senyum di wajahnya tak pernah luntur meskipun aku tahu dia menyimpan begitu banyak beban. Bagiku, ayah adalah sebuah tameng kehidupan. Ayahku yang kuat tak terlihat rapuh meskipun sudah berada di usianya yang tua.

"Halo, gadis kecilku."

Aku menitikkan air mata. "Ayah..." aku menghambur ke dalam pelukan hangat seorang ayah.

Lou LengthWhere stories live. Discover now