L-19

2.2K 222 5
                                    

...

Kembali bersatunya mami dan papi tentu saja hal yang sangat membahagiakan untuk Lentera. Walaupun hubungan keduanya belum benar-benar baik. Lentera langsung sujud syukur ketika mami dan papi telah resmi menjadi sepasang suami istri lagi.

Walaupun ada yang sakit dalam hatinya, walaupun langit runtuh di atasnya, Lentera tetap sangat bahagia karena kabar itu.

"Kamu mau ke mana?" Suara bariton papi terdengar sampai ke ujung anak tangga. Lentera turun pelan-pelan, menunggu respon mami yang terlihat masih sangat tak peduli pada papi.

"Saya mau cari Pelita di tempat les-nya," jawab mami dingin. Lentera tersenyum tipis, setidaknya mami sudah sedikit merespon pertanyaan dari papi.

Kala mami membuka pintu, senyum Lentera langsung menghilang. Begitu juga dengan mami yang langsung mundur beberapa langkah.

"Tante," isak tangis penuh luka itu diikuti oleh Bia yang langsung jatuh terduduk di hadapan mami, di pegangnya kaki mami.

Papi berdiri dari duduknya, begitu juga dengan Lentera yang langsung buru-buru turun dari tangga dan berdiri di samping papi.

"Maafin Bia," isaknya lagi. Mami hanya diam, sampai tetes air mata Bia jatuh ke punggung kakinya. "Tolong maafin, Bia. Bia mungkin salah udah hadir di tengah-tengah keluarga Tante. Tapi Bia nggak pernah bisa mengulang waktu, kalau bisa Bia akan memilih nggak ada di dunia ini."

Isak tangis gadis yang selalu tampak sangar itu makin mengeras, menunjukan kepedihannya, menunjukan lukanya yang masih menganga lebar.

Mata Lentera berair, begitu juga dengan mami yang menahan keras kepalanya agar tak menunduk menatap gadis itu.

"Mama nggak menerima Bia, Tante. Ajun udah ketemu sama Ibu kandungnya, Bia mau tinggal di sini. Bia mau jadi anak Tante juga."

Kalimat itu keluar dengan tulus, keinginan yang sangat besar untuk menjadi keluarga Guntur. Lentera bisa merasakan bagaimana rasanya ada di posisi Bia. Apa yang ia alami dulu, hampir sama seperti yang Bia alami sekarang.

"Sayang," papi memegang pundak mami, membuat wanita paruh baya itu menoleh seketika. "Biarin Bia jadi bagian dari keluarga kita, ya. Kita ulang semuanya dari awal, hem?"

Air mata juga lolos ke pipi mami, buru-buru dihapusnya air mata itu. Pikirannya tak lagi seperti dulu, sekarang ia mencoba menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya, ibu yang baik untuk semua anak yang butuh perhatian seorang ibu.

Untuk Bia, mami masih enggan membuka hatinya. Tapi jiwa seorang ibu lah yang menarik tangannya untuk membawa Bia berdiri dan memeluk gadis itu.

Air mata Lentera menetes dengan senyum haru di bibirnya kala menyaksikan pelukan yang sangat erat itu.

"Jadi anak saya, ya?" Tanya mami disela air matanya. Bia mengangguk senang, tetes air matanya tak lagi mengandung luka, melainkan bahagia.

Bia akan punya sosok ibu dalam hidupnya.

Lentera langsung berlari untuk bergabung dalam pelukan itu. Ketiganya kini saling memeluk penuh kasih sayang, dengan tetes air mata sebagai saksinya.

Tapi, semuanya belum berakhir. Masih ada luka lain yang butuh penawar.

...

MEMORIESWhere stories live. Discover now