XXV

171K 23.3K 1.3K
                                    


"Kenapa?" tanya Kaila ketika Orion tak berhenti menatapnya yang tengah menikmati nasi bebek di salah satu warung tenda daerah setiabudi, ini adalah makan malam yang ke sekian kalinya bersama Orion. Bukan makan malam romantis semacam candlelight dinner gitu, lebih ke sering makan malam bersama karena harus lembur bersama.

"Kamu makannya banyak, tapi badannya masih kurus gitu." Orion menggeleng takjub, makan Kaila tak pernah sedikit bahkan di atas mejanya Orion seringkali menemukan camilan.

Kaila menatap malas Orion, mungkin ini pernyataan ke sekian kali orang-orang di sekitar Kaila tentang tubuhnya yang tak pernah berisi. Ia sudah cukup bosan mendengaranya.

"Ini namanya sudah takdir," Kaila ingat dulu ia ingin menaikan berat badannya sebanyak dua kilogram saja butuh perjuangan luar biasa.

"Sama kayak saya ketemu dengan Bapak, udah takdir." Lanjut Kaila dengan tangan yang sudah dibaluri sambal, wajahnya tersenyum membuat Orion kembali menggeleng kepala.

"Kamu seneng banget kayaknya," ucap Orion. Ia sudah menyelesaikan makannya jauh lebih dulu dibanding Kaila yang kini sibuk dengan tulang bebek.

"Ditraktir makan gini ya seneng lah, Pak." Kaila memamerkan barisan giginya yang rapat.

"Padahal cuman makan di pinggir jalan gini aja."

"Ya kan yang penting niatnya Pak, bukan harganya. Sekecil apapun nilainya kalau niatnya tulus itu lebih membuat saya bahagia."

"Dari mana kamu tahu saya niatnya tulus?"  Orion maunya mengajak Kaila ke salah satu resto di daerah Suropati, tapi terlalu lama dan macet. Ditambah Kaila mengoceh perutnya lapar, alhasil ia menepikan mobilnya saat melihat warung tenda yang menyediakan berbagai lauk.

"Dari tadi, Bapak sampai terpana liat saya makan. Bapak senengkan saya menerima dengan baik niat bapak mentraktir." Kaila ini kalau soal bersilat kata udah juara sepluto raya.

"Oh iya Pak," Kaila membersihkan tangannya dengan tissue lalu membasuhnya dengan air yang disediakan. "Tadi siang saya liat Carina di Sbucks, tapi kok saya nggak liat bapak?"

"Ya memangnya kalau ada Carina saya harus ada di sana?" Tanya Orion, meskipun kenyataannya Carina datang memang untuk bertemu dengan Orion. Hanya saja Orion terlalu sibuk dengan Bu Sandra sampai harus membuat Carina menunggu sedikit lama.

"Saya pikir Carina kesini untuk ketemu Bapak," Kaila tak sempat menyapa Carina yang tengah menikmati pastry dan satu cup kopi. Karena Kaila juga mengendap-ngendap keluar dari Kantor untuk membeli kopi setelah jam istirahat usai.

"Memang," jawab Orion santai. "Tapi saya baru bisa nemuin dia setelah membiarkan dia nunggu satu jam lebih."

Kaila membulatkan mulutnya, satu jam? Nggak kurang lama tuh.

"Kenapa Bapak nggak mau dijodohin sama Carina, dia cantik keliatannya juga baik. Heran aja bapak bisa nolak dia." celotehan Kaila sekarang menjurus ke kehidupan pribadi Orion, menanggalkan sejenak hubungan atasan bawahan yang sering menyebabkan migrain.

"Kamu pikir lelaki itu liat perempuan cantik, terus suka lalu pacarin gitu?" Orion menaikan sebelah matanya, meminta penjelasan atas pertanyaan Kaila yang melukai sedikit egonya. Karena Orion sendiri tak melihat rupa pasangannya kelak bagaimana.

"Iya."

"Ya nggak lah, bagi saya itu terlalu nggak adil. Kalau kita mencari pasangan dari rupa mereka, terlepas lelaki ataupun perempuan. Kenapa nggak dari sopan santun dan wawasannya, rupa manusia itu sudah anugerah dari Tuhan. Saat dilahirkan ke dunia kita tidak bisa memilih ingin seperti apa rupa kita, bagaimana tubuh kita. Semuanya Tuhan yang menentukan, saya tak munafik jika terkadang saya tersenyum melihat perempuan cantik." Orion menatap lurus ke arah Kaila, mengisyaratkan agar Kaila bisa terfokus dengan apa yang Orion ucapkan. "Tapi itu tak lantas membuat saya ingin menjadikan mereka pacar saya, rupa itu sudah mutlak ciptaan Tuhan. Tapi Karakter, itu kita yang membentuk."

TIRAMISUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang