XXVI

167K 23.1K 743
                                    

Kaila memicingkan matanya tak percaya melihat Putera yang tengah duduk sendiri di sana. Kaila datang ke Kafe karena ada janji dengan temannya, sayangnya Kaila datang lebih awal dari pada dua temannya yang lain. Padahal Kaila sudah sebisa mungkin pulang on time.

Setelah membeli satu cup kopi Kaila menghampiri Putera, sekedar menyapa mantan kayaknya enggak dosa 'kan?

"Hai Put!" Kaila melambaikan tangannya dengan seutas senyum di wajahnya.

"Kaila, sama siapa di sini?" tanya Putera sedikit terkejut dengan kehadiran Kaila di depannya, sampai beberapa detik ia menawari Kaila untuk duduk bersamanya.

"Nunggu temen sih," Kaila duduk di depan Putera bahkan tanpa dipersilahkan Kaila sudah berinisiatif.

"Aku boleh duduk di sini kan?" dibanding pertanyaan ucapan Kaila lebih mengarah ke pernyataan.

"Boleh-boleh," jawab Putera penuh antusias, wajah Putera tak pernah lepas dari senyum ketika menatap Kaila. "Aku habis ketemuan sama WO tadi di sini, baru selesai beberapa menit lalu. Cuman nunggu jalanan agak lengang dulu aja, macet banget kayaknya jam segini."

Mimik wajah Kaila berubah seketika, kenapa Putera harus menjelaskan sedetail itu. Tapi, ia lebih penasaran kenapa tidak dengan Della?

"Iya sih, males banget nyetir kalau macet gini. Apa lagi ini belum jam delapan dan mobil yang boleh lewat sekitaran sini cuman yang platnya ganjil, mobil kamu kan genap." tanpa sadar ucapan Kaila mengundang senyum geli di wajah Putera.

"Kamu masih inget plat mobilku?"

Kaila berdehem merutuki kebodohannya, dan dimana teman-temannya yang katanya sudah on the way. "Kamu lagi nggak sibuk terbang kayaknya?"

Pengalihan pembicaraan yang membuat Putera justru semakin gemas dengan Kaila, bahkan wajah Kaila kini terlihat menggemaskan di mata Putera.

"Karena udah sebentar lagi hari H nya," Putera berdehem menatap lurus pada Kaila. Suasana kafenya memang tidak terlalu ramai dan kondusif, pas dijadikan tempat bercengkrama santai. "Kalau kita nggak putus mungkin kamu yang aku ajak diskusi soal resepsi."

"Karena kita enggak jodoh," ucap Kaila, mau bagaimana lagi. Sekuat apapun Kaila mencoba bertahan kalau memang sudah tak sejalan dia bisa apa?

"Nyatanya aku lebih bahagia sama kamu," sadar atau tidak sekarang suasana yang diciptakan Putera membuat Kaila merinding kaku. "Dibanding dengan Della."

"Jangan pernah membanding-bandingkan sesuatu, bukan lebih bahagia sama aku dibanding Della. Kamu belum bersyukur dengan apa yang sudah kamu punya saat ini, bahagia atau tidak semuanya tergantung bagaimana kamu menjalaninya gimana." Kaila menatap gelas kopinya, menimang kata apa lagi yang pantas ia keluarakn untuk mantannya yang sebentar lagi menikah.

"Kalau kamu nggak bahagia, kamu nggak akan melangkah sejauh ini. Sampai mau menikah dengan Della, bahagia itu diciptakan bukan ditunggu." Kaila tersenyum tulus, bukan jenis senyuman yang ngajak mantan balikan.

"Aku nggak bilang nggak bahagia," sangkal Putera. Ia seolah ingin menjelaskan perspektif Kaila itu salah. "Aku bilang lebih bahagia dengan kamu, bukan dengan Della."

"Kamu masih sering melintas di pikiran aku."

Kaila bisa mati kutu kalau Putera terus meracau, dulu ia memang begitu menyukai Putera. Namun semuanya harus kandas karena mereka tak pernah sejalan, lebih ke arah Putera yang selalu mendominasi.

"For your information, aku dan Della itu dijodohkan. Dia bukan pilihanku, ia pilihan orang tua ku."

"Bagus dong, Mas." Kaila lagi-lagi keceplosan, padahal ia sudah lancar-lancar saja memanggil Putera dengan namanya tanpa embel-embel Mas. Kaila merutuki gerak reflek mulutnya. "Pilihan orang tua biasanya nggak salah, mereka selalu memilih yang terbaik untuk anaknya."

"Ajari aku cara melupakan kamu," ucap Putera yang justru membuat Kaila terbatuk. "Aku terlalu lemah sama kamu Kai, aku masih nggak tahu caranya menahan rindu sama kamu. Dan aku terlalu pengecut untuk memulai kembali bersama kamu, sampai akhirnya aku nggak punya pilihan."

Siapapun tolong Kaila saat ini, rasanya Kaila ingin merendam kepalanya di wastafel dengan air dingin.

"Orang kalau mau nikah memang biasanya gitu kok, Put." suara Kaila terdengar begitu meyakinkan, padahal ia tak pernah benar-benar tahu kenyatanyaannya bagaimana. Hanya sekedar katanya dari orang-orang yang pernah merasakan. "Mereka ragu, takut salah jalan. Padahal sudah sejauh ini, ibaratnya kalau kamu ingat mantan. Kamu lagi flashback kisah hidup kamu, sekarang kamu udah nggak bisa kayak dulu. Kamu bakalan bandingin dulu dan nanti, yang malah membuat kamu semakin takut menghadapi esok."

Vanny sama Desti kayaknya tersesat di gurun sahara. Sampai Putera ngajak gue balikan itu semua karena mereka.

"Kamu mau ketemu Desti sama Vanny, ya?"

Kaila mengangguk, ia akan menahan diri untuk tak memancing pembicaraan ke arah yang lebih sensitif. Putera memang mengenal Desti dan Vanny, dulu ketika status Kaila masih pacar Putera ia cukup sering mengajak Putera bertemu Desti dan Vanny.

"Masih aja ya mereka suka telat," Putera tertawa, jenis tawa canggung yang membuat Kaila tak nyaman. "Kasian kan kamu jadinya nunggu."

Kaila hanya menanggapinya dengan senyum, ia menoleh sebentar pada ponselnya. Ada pesan dari Orion yang sejak tadi sengaja tak Kaila baca. Sedangkan pesan yang ia tunggu dari kedua temannya tak kunjung ada.

Setelah membaca pesan dari Orion, Kaila tak lantas membalas cepat pesan Orion. Ia justru tertawa dengan kelakuan Orion.

Belum sempat terbalas pesan yang tadi, Orion sudah kembali mengirimi pesannya

Orion : Jadi, pesan saya nggak jauh beda sama majalah. Cuman dibaca tapi nggak direspon.

Helaan napas Kaila semakin berat, sesunguhnya kali ini Kaila tak tahu bagaimana cara bersikap pada Orion. Yang notabenenya adalah atasannya, sementara mereka berdua kali ini bertingkah seperti sejoli yang dilanda kasmaran.

*****

Jam sembilan lewat delapan menit Kaila memutuskan untuk pulang, ia sukses mendapat olokan dari kedua temannya karena ia bersama Putera. Padahal tak lama Vanny dan Desti tiba Putera memutuskan untuk pulang.

Kaila tak meminta Dimas menjemputnya, namun ia terkejut ketika mendapati Orion duduk di luar teras rumahnya. Langkah Kaila semakin terasa berat melihat Orion yang menatapnya.

"Kamu terlihat lelah sekali," ucap Orion, ia masih tidak tahu harus bagaimana ketika Kaila terlihat kebingungan. "Saya pulang aja, kamu istirahat ya!"

Seketika perasaan bersalah menyusup ke hati Kaila, ia menunduk dalam tak berani melihat wajah Orion.

"Nggak apa-apa," lagi-lagi suara Orion yang menyapa telinga Kaila. Seolah Orion bisa membaca pikiran Kaila ketika Kaila tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. "Saya nggak akan paksa kamu untuk bicara sama saya."

"Pak," Kaila menggigit pelan bibirnya, ia tak mau hubungannya dengan Orion seperti ini. Ketika ketakutan menguasai hatinya karena ia ragu pada apa yang tengah Orion tawar kan. "Saya takut, takut Bapak ninggalin saya."

"Kenapa saya harus meninggalkan kamu?"

"Karena saya mungkin bukan perempuan yang Bapak inginkan," Kaila memberanikan dirinya menatap Orion yang tersenyum lemah.

"Karena kamu adalah Kaila, karena itu saya mau mencoba menjalin hubungan sama kamu." Orion menepuk pelan puncak kepala Kaila.

"Meskipun kamu ceroboh, bodoh, dan seringnya mudah dimanfaatkan oleh orang lain karena terlalu pemaaf dan tak enak hati. Meskipun kamu sering menggerutu tentang saya di belakang, saya menyukai kamu."

Jika ada yang tanya bagaimana keadaan Kaila saat ini, sesak. Rasanya ada perasaan bahagia dan takut bersamaan membludak di hatinya.

"Saya suka kamu, lengkap dengan semua kekurangan kamu yang membuat saya berdebar dan merindu secara bersamaan."

TBC

TIRAMISUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang