16. Realita

842 69 9
                                    

QIANDRA SPESIAL PART

Realita tak pernah seindah ekspetasi. Namun ekspetasi tak pernah senyata realita.

***

Hampir semua orang pernah bermimpi. Mimpi erat kaitannya dengan sesuatu yang ingin namun sepertinya dapat kita gapai.

Sayangnya kebanyakan orang lebih senang berkhayal. Menghayal tentang sesuatu yang kita sudah tahu akhirnya tak mampu untuk digapai.

Pada akhirnya semua orang yang senang berkhayal itu menyalahkan kenyataan. Mereka menyalahkan keadaan yang tak sesuai dengan ekspetasi mereka.

Kenyataan yang mereka anggap pahit itu pada akhirnya selalu menikam khayalan 'berlebihan'. Tanpa mereka pernah sadari bahwa kenyataan 'pahit' itulah yang justru menyelamatkan mereka dari kepahitan yang sesungguhnya.

Aku pun pernah mengalaminya. Ekspetasiku pernah dikhianati oleh kenyataan. Pahit tentunya. Namun, pada akhirnya aku justru mensyukuri pengkhianatan itu.

Aku sadar bahwa khayalanku tentang kita saat itu tak masuk diakal, bahkan terlalu berlebihan. Hingga akhirnya kekecewaan menyelinap masuk, dan menghancurkan segalanya. Kekecewaan yang pula kudapat darimu.

Setelah menyadari kenyataan pahit itu adalah realita manis, aku tak menyesal pernah berekspetasi lebih padamu.

Itulah mengapa aku begitu mencintai kenyataan sebesar aku mencintai khayalan.

Itulah mengapa aku lebih melihat realita daripada menuntut ekspetasi.

Karena ekspetasi tak pernah senyata realita. Walau indahnya tak seperti yang dikhayalkan, namun indahnya cukup membuatku bersyukur.

- Fetch -

Suara mesin penunjuk denyut nadi dan detak jantung adalah satu-satunya suara yang memenuhi ruangan beraroma khas rumah sakit itu. Qiandra lelap dengan terduduk di samping tempat tidur ayahnya. Bahkan ia sampai tak menyadari ada seseorang yang sudah memasuki ruangan tersebut.

Laki-laki itu mengambil posisi duduk di kursi yang terletak tepat di belakang Qian. Ia meletakkan sebuah tas berisi sekotak makanan dan air mineral. Tak ingin mengganggu Qian, ia tak bersuara sama sekali. Tatapannya pun lurus memandang punggung Qian yang tengah membungkuk lantaran tidur dengan posisi duduk, dan kepalanya ia sandarkan di tepi tempat tidur.

Masih belum ada perubahan signifikan yang ditunjukkan oleh Robi, ayah Qian. Hanya sadar sesaat setelah operasi, kemudian terlelap dan tak kunjung bangun hingga saat ini. Koma, itulah kondisi yang dapat dokter sampaikan secara medis.

Entah bagaimana perasaan Qian saat ini. Namun yang pasti, tak ada satu orang pun yang akan sanggup dan kuat seperti Qian. Disatu sisi, Qian pastilah sangat membenci ayahnya yang tega meninggalkan ia dan ibunya begitu saja, entah kemana. Lalu tiba-tiba ia datang kembali, namun dengan kondisi yang tak bisa untuk Qian meluapkan semua perasaan bencinya itu. Ayahnya harus terbaring kaku di rumah sakit saat ini. Mana mungkin pula ia meninggalkan ayahnya begitu saja. Tak terbersit sedikit pun pemikiran kejam seperti itu di pikirannya. Yang cukup ia tahu adalah, ayahnya membutuhkan dirinya saat ini. Bagaimana pun keadaan kacau balau sebelumnya. Setidaknya hingga ayahnya sadar, ia harus merawat dan menemani ayahnya.

Suara dering telepon mengusik tidur Qiandra. Laki-laki tadi ingin sekali mematikan handphone milik Qiandra. Namun, langkahnya kalah cepat dengan kecepatan tangan Qiandra.

FETCH [Completed]Where stories live. Discover now