CHAPTER 12 - LAYANGAN TERAKHIR

21K 2.1K 287
                                    

Desa Sumbergede, Kecamatan Banyusirih, Kabupaten Patokan

Ke arah barat dari pesantren Sokogede, ada sebuah jalan setapak melewati kebun kelapa, lalu disambung kebun pepaya di petak selanjutnya. Lurus terus ke barat, jalan setapak akan semakin mengecil pertanda sudah memasuki area hutan; Hutan Sumbergede. Dibanding hutan Tambalur yang memisahkan Patokan dan Gandrung, Hutan Sumbergede tidak ada apa-apanya. Kecuali sejarah panjang pembangunan pesantren yang dulunya adalah bagian dari belantara.

Hampir tidak ada hewan yang tersisa kecuali monyet dan rusa. Meskipun banyak pengakuan santri melihat Macan, Buaya, dan bahkan melihat Naga. Hal semacam itu yang membuat para ustad tepuk jidat. Semakin berkembangnya stasiun televisi swasta, membuat ragam acara semakin banyak. Tontonan itu mempengaruhi pola pikir dan imajinasi santri. Hingga memasuki tahun 1995 silam, televisi di pesantren dilumpuhkan kecuali untuk siara berita. Tidak mau ambil resiko ada santri yang menolak ke masjid karena takut diserang Naga.

Masih tentang mitos hutan Sumbergede. Belakangan sering terlihat anak kecil keluar masuk hutan seolah ada taman bermain di dalamnya. Pagi, siang, bahkan sampai sore pun masih ada yang keliaran di sana. Pernah seorang pencari rumput mengikuti anak-anak tersebut yang bergerombol pergi ke hutan, lalu berbelok ke selatan tepat sebelum melewati Jembatan Lori. Sudah jadi aturan bahwa santri atau orang yang tidak punya kepentingan, tidak boleh melintasi hutan lebih dari Jembatan Lori. Seolah terbiasa lewat di sana, bocah-bocah itu berbelok lagi ke barat walaupun tidak ada jalan setapak atau penunjuk arah yang membimbing mereka.

Si pencari rumput terus mengikuti bocah-bocah itu, hingga mereka sampai di hamparan sawah yang luas, yang di pinggirnya berdiri sebuah rumah. Hunian itu tampak sederhana dan asri karena didukung pemandangan sekitar, tapi ketika malam datang, semua yang melihat pasti akan berubah pikiran. Sebenarnya sawah dan rumah itu dapat diakses dengan melewati jembatan Lori lalu berjalan sedikit ke barat. Tapi sepertinya, gerombolan anak-anak SD itu tidak ingin ketahuan penjaga.

Anak-anak itu dengan girang berlari menuju rumah tersebut, kemudian berpapasan dengan teman-teman mereka yang baru saja pulang dari sana. Berbeda dengan yang baru datang, mereka yang sudah pulang tampak girang membawa banyak layang-layang. Rasa penasaran si tukang cari rumput berkurang. Walaupun dalam hati masih bertanya-tanya.

"Jadi kabar itu benar, orang itu membangun rumah di tengah hutan, untuk ditinggali sendirian?"

Adalah Muhammad Salehudin, orang yang dimaksud oleh si tukang cari rumput itu. Sejak usianya memasuki 70 tahun, Pak Saleh memutuskan untuk tinggal terpisah dari anak dan cucunya. Ia bahkan menolak dibuatkan rumah baru walau H. Karim sudah menyediakan tanah kosong di dekat pesantren. Sempat terjadi adu mulut antara H. Karim dan Pak Saleh waktu itu.

"Saya sudah sediakan tanah untuk Abah, kalau bisa segera ditempati sebelum..."

"Apa? Abahmu belum mati tapi kamu sudah sediakan kuburan? Disuruh segera pula?"

"Yang bilang kuburan siapa? Saya bilang tanah kosong! Tanah kosong!"

"Ah? Hahaha, Abah salah dengar. Tidak usah repot-repot, biar Abah cari tempat tinggal sendiri saja."

"Justru yang begitu yang membuat saya repot."

"Apa? Jadi kamu bilang kalau Abah ini merepotkan?"

"Dengarkan yang benar kalau orang bicara! Sekalian perbaiki emosimu yang sering naik turun itu, kakek tua!"

Fatah dan ibunya hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah Bapak dan anak yang semakin tua, semakin tidak bisa akur.

Ini tidak akan berakhir baik. Pikir Fatah.

EKSEKUSI TAPAL KUDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang