Desa Sumbergede, Kecamatan Banyusirih, Kabupaten Patokan.
Kediaman Fatah tidak terlalu mewah. Sebagai pemilik lahan seluas lima hektar, rumahnya hanya terdiri dari tiga kamar tidur, dua kamar mandi, satu ruang keluarga, satu ruang tamu, dapur, ruang makan, dan sebuah garasi tanpa mobil. Rumah itu berbentuk huruf 'L' terbalik, dimana garasi berada di ujung garis pendeknya. Boleh jadi warisan H. Karim mendongkrak taraf hidup Fatah dan keluarganya, tapi selama lima tahun terakhir Fatah tidak hanya diam menikmati, tapi ikut bekerja keras merawat dan mengembangkan apa yang nyaris hilang menjelang reformasi.
Ruang keluarga, ruang makan, lalu dapur. Tiga ruang itu dilalui fatah agar sampai di garasi. Semua lampunya dibiarkan hidup sepanjang malam, demi mencegah tikus dan kecoa nakal yang mengincar sisa makanan hari ini.
Saat tangan Fatah hendak membuka pintu penghubung dapur dan garasi, barulah dia merasa ada yang aneh. Pintu itu terbagi menjadi dua bagian; atas dan bawah. Kedua daun pintu itu bisa dibuka terpisah. Setiap malam Fatah menyelipkan potongan kardus di antara kedua daun pintu, agar tetap kokoh. Tapi, malam ini kardus itu tergeletak di lantai.
Saya tidak pergi ke garasi dari tadi. Nurina, kah?
Saat ini pikiran Fatah sedang tenang. Terlepas dari isu ninja yang meresahkan warga, Fatah tidak menemukan alasan kenapa pembunuh itu harus datang ke rumahnya. Diabaikannya keanehan itu, dan tanpa ragu Fatah membuka pintu ke garasi.
"Yah, kenapa saya lupa bawa senter ya?"
Terdengar bunyi saklar ditekan berkali-kali.
"Wah, konslet ini. Lampu di luar garasi juga. Kayanya di pinggir jalan juga, soalnya satu jalur."
Fatah mencari kotak peralatan yang biasa disimpannya di garasi, penuh optimis dapat mengatasi kegelapan itu sendiri. Fatah tidak tahu, tepat di belakangnya, seseorang sedang berbaur dengan gelapnya garasi, menunggu saat yang tepat untuk eksekusi.
***
"Ning, Aluf?"
Nurina tidak percaya siapa yang sedang berdiri di hadapannya. Gadis bercadar itu melepas tangannya dari mulut Nurina, setelah memastikan istri Fatah tidak akan berteriak.
"Sedang apa sampean di sini, Ning?"
"Nanti saja basa-basinya. Sekarang jawab, apa Kak Tuan atau Haji Karim ada di rumah?"
Nurina memperhatikan wajah Aluf yang saat itu sudah lepas cadar. Gadis itu tampak sangat kelelahan. Walaupun kamar sedang gelap, Nurina dapat melihat luka di punggung tangan dan di kaki sahabatnya itu.
"Abah sudah satu minggu yang lalu berangkat ke Gentengan. Sedangkan Kakek, bukankah beliau ada di rumahnya?"
"Tidak." Kata Aluf. Kali ini ia duduk di lantai, sementara Nurina masih di atas ranjang berbalut selimut. "Dengar, seseorang sedang mengincar Kak Tuan dan Haji Karim. Besar kemungkinan orang itu akan mencarinya ke sini. Karena itu, sebisa mungkin aku datang memperingatkan. Sebaiknya, kamu dan anak-anak tinggal di pesantren untuk sementara waktu."
"Jangan bercanda!"
"Apa aku kelihatan seperti bercanda?"
Usia Aluf memang jauh lebih muda dari Nurina, tapi Nurina sangat menghormati putri Kiai Fatah itu. Melihat wajah dan kondisi Aluf yang sedang panik-dan gadis itu bukan orang yang mudah panik, Nurina segera turun dari ranjang dan meraih pakainnya yang berserakan di lantai.
"Dimana Fatah?" Tanya Aluf.
"Di ruang tamu, baca buku?" Jawab Nurina dengan intonasi tanya seolah tidak yakin akan jawabannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
EKSEKUSI TAPAL KUDA
HorrorBanyusirih mengalami tahun-tahun terburuk sepanjang sejarah. Hampir setiap hari ada mayat yang mereka kuburkan, dan jumlahnya tidak sedikit. Belum lagi, adanya gangguan ghaib berupa santet dan kunjungan tengah malam dari arwah korban yang gentayanga...