Reuni yang seperti ini sama sekali tidak Ki Rahwan harapkan. Rodin yang ia hadapi sekarang, sama sekali berbeda dengan yang dulu ia kenal. Keduanya sama-sama sudah tua, memang, tapi ada satu hal dari Rodin yang tidak lenyap digerus usia, yakni aura misteriusnya. Rodin pendiam, tapi jauh di dalam diam itu, ada bara yang Ki Rahwan tahu tak akan pernah padam. Ki Rahwan masih merasakannya hingga sekarang. Bahkan bara itu semakin besar.
"Sejak kapan kau yang biasanya hemat suara, jadi banyak bicara?" sindir Ki Rahwan.
"Entahlah," sahut Rodin, mengangkat kedua pundak.
Kiai Ilyas masih di sana. Harusnya ia sudah lari, tapi ia enggan meninggalkan Ki Rahwan sendiri. Bukan meremehkan kemampuan Ki Rahwan, tapi firasat Kiai Ilyas berkata bahwa orang misterius ini benar-benar berbahaya. Selagi perkelahian yang pasti terjadi itu masih berada pada tahap basa-basi, Kiai Ilyas mencoba mengingat-ingat kembali, siapa orang yang kelihatan sangat akrab dengan Ki Rahwan ini?
Rodin, kah? Kalau iya, aku harus cari bantuan secepatnya. Ki Rahwan tidak akan sanggup sendirian.
"Mohon maaf, Kiai. Sebaiknya Jenengan cepat pergi dari sini. Orang ini kalau sudah ngamuk, lalat sedang kawin pun pasti dia bunuh," pinta Ki Rahwan dengan sopan, dengan sedikit sikap sok pahlawan.
Kiai Ilyas mengangguk. Ia menuruti permintaan Ki Rahwan, dan bergegas meninggalkan lokasi. Namun, kelihatannya Rodin tidak merestui itu. Dengan sedikit hentakan kepala ke belakang, belenggu di leher Rodin terlepas.
Ki Rahwan tidak membuatnya percuma. Dalam momentum yang sama, ia goreskan cakar besinya ke leher Rodin, sekaligus merobek baju di bagian pinggang, meski itu tak cukup menghentikan.
Rodin mengejar kiai Ilyas. Larinya masih secepat yang Ki Rahwan ingat. Hal itu membuat Ki Rahwan sadar, sementara puluhan tahun ia habiskan besantai dan memanjakan paru-parunya dengan asap rokok, Rodin justru berlatih dan tetap mengasah tubuhnya hingga benar-benar jadi senjata yang sempurna.
Ki Rahwan melompat ke depan. Dadanya mendarat di tanah dengan kedua tangan berhasil mencengkeram pergelangan kaki Rodin, membenamkan tiga cakarnya dalam-dalam, menghentikan pergerakan Rodin yang sedikit lagi berhasil menggapai Kiai Ilyas.
Kiai Ilyas semakin tak terjamah. Ia berbelok ke balik gedung wisma tamu, lalu menghilang dari medan perang. Tentu saja itu membuat Rodin berang. Ia menendang Ki Rahwan yang masih menahan kedua kakinya, bak mengusir kucing liar yang minta dilempari ikan saat Rodin sedang makan.
Ki Rahwan melepaskan cengkeramannya, kemudian menyilangkan tangan untuk menangkis tendangan rodin. Kendati berhasil menutupi wajah dari serangan, Ki Rahwan tetap terpelanting ke belakang, bergulung di tanah dari saking besarnya tenaga kaki Rodin.
Ki Rahwan membersihkan debu-debu di wajah, terutama yang mengganggu pandangannya. Ia melihat bagaimana Rodin menunduk untuk memeriksa luka di pergelangan kaki akibat cengkeraman Ki Rahwan barusan. Setidaknya begitu harapan Ki Rahwan, tapi ternyata, tak ada luka apa pun di leher, pinggang, juga di pergelangan kaki Rodin. Ibaratnya menggores permukaan logam dengan jarum jahit.
"Kau masih menyimpan Bagh Nakh pemberian Kiai Sepuh? Kukira kalian semua sudah membuang mainan masing-masing," kata Rodin, tersenyum meremehkan.
***
Pendopo Sokogede, satu hari sebelum Lawang Jerit.
Beberapa tahun silam, di pagi yang damai, Karmapala sedang berkumpul di pendopo pesantren untuk mempersiapkan rencana menuruni Lawang Jerit. Kiai Sepuh sendiri yang memimpin pertemuan itu, sambil ditemani Lora Ilyas. Setelah membahas strategi, Kiai sepuh mulai membagikan 9 pusaka untuk 9 orang Karmapala. Kiai menyebutnya hadiah, karena tidak semuanya berupa senjata.
KAMU SEDANG MEMBACA
EKSEKUSI TAPAL KUDA
HorrorBanyusirih mengalami tahun-tahun terburuk sepanjang sejarah. Hampir setiap hari ada mayat yang mereka kuburkan, dan jumlahnya tidak sedikit. Belum lagi, adanya gangguan ghaib berupa santet dan kunjungan tengah malam dari arwah korban yang gentayanga...