First

5.4K 539 2
                                    

Auckland, New Zealand.

Rose berdiri di depan makam ayahnya. Buket bunga yang ada di genggamannya ia simpan di depan nisan ayahnya. Ia tersenyum pahit. Rose seorang yatim piatu. Ayahnya, yang merupakan satu-satunya anggota keluarga yang ia miliki, telah pergi meninggalkannya saat ia masih di sekolah dasar. Sambil berlutut, Rose memegang nisan ayahnya.

"Bagaimana kabar ayah di sana? I miss you so much. Ayah, apa ayah memperhatikan pertumbuhanku? Lihat, sekarang aku sudah tinggi, kan? Apa ayah mau tahu berapa tinggiku? Aku sudah 168 sentimeter!"

Rose tersenyum pahit. "Kalau aku berdiri di samping ayah sekarang, pasti aku sudah setinggi leher ayah, aku sudah tidak bisa digendong lagi," ujar Rose diiringi dengan tertawa hambarnya.

"Oh iya, hari ini aku baru dapat pengumuman seleksi beasiswa ke Seoul, dan ternyata aku lulus. Ayah pasti senang, kan?"

Rose merogoh isi tasnya lalu mengeluarkan ponselnya. Ia membuka hasil pengumuman itu lalu menunjukkannya ke foto ayahnya.

"Lihat ayah, aku satu-satunya yang lulus dari universitasku. Ayah pasti bangga, kan? Tapi ayah tidak perlu khawatir, setiap liburan kuliah nanti, aku pasti akan berkunjung lagi ke sini supaya bisa terus bertemu ayah."

Rose lalu melihat kembali hasil pengumuman beasiswa S2 tersebut. Ia merenung sejenak.

"Kalau aku kuliah di sana nanti, apa aku akan bertemu dengan ibu?"

Ia sendiri sebenarnya tidak terlalu berharap bisa bertemu dengan ibunya. Karena lagipula, hubungannya dengan ibunya tidak terlalu baik.

-

Auckland, 2006.

"Apa-apaan kau? Cepat kesini! Kenapa kau memasukkan semua bajumu?"

"Aku mau pergi!"

"Pergi kemana? Jangan macam-macam!"

"Kau sendiri juga tidak pernah peduli kan denganku? Kau selalu pulang malam dan tidak pernah memikirkan aku atau Rose! Mulai sekarang kau yang harus menjaga dia, karena aku yang akan pergi!"

PRANG!

Rose menutup kedua telinganya sambil duduk di lantai, menangis. Ayahnya baru saja mebanting vas bunga karena kesal. Hampir setiap hari ia mendengar pertengkaran orang tuanya. Ia bosan. Ia sedih. Kenapa orang tuanya ini tidak pernah berdamai? Dan kenapa mereka bertengkar di depan anaknya sendiri? Rose ada di sana, menyaksikan dengan jelas pertengkaran yang dilakukan kedua orang tuanya, menjadi penonton setia setiap harinya.

"Rose itu tanggung jawabmu! Kau ibunya!"

"Tapi kan aku juga punya pekerjaan, tidak hanya kau saja yang punya! Pokoknya mulai sekarang kau harus memikirkan Rose juga, kau harus meluangkan waktu yang banyak untuk dia, karena aku sudah tidak akan bisa."

"Bicara apa, sih, kau ini? Kenapa? Memang kau mau kemana? Kau mau pergi?"

Rose melihat ibunya yang sudah siap untuk menarik kopernya keluar dari rumah. Rose segera bangkit lalu mencegah ibunya itu agar tidak pergi.

"Ibu mau kemana? Jangan pergi! Ibu jangan tinggalkan Rose!" Rose memohon sambil memegangi kaki ibunya, tangisannya semakin keras.

Ibu Rose ikut menangis melihat anaknya yang mencegahnya pergi. Tapi ia tidak bisa, ia tetap harus pergi. "Maafkan ibu ya Rose, tapi ibu sudah tidak bisa lagi hidup bersama kalian, ibu harus pergi! Maaf!"

"Biarkan saja, Rose! Biarkan ibumu pergi! Terserah dia, apapun yang dia mau lakukan sudah bukan urusan kita lagi! Biarkan dia pergi!" tangan kecil Rose ditarik paksa oleh ayahnya hingga terlepas dari kaki ibunya yang masih tak berkutik.

Prejudice ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang