Twenty First

2.9K 436 9
                                    

Rose menatap bayangan dirinya di depan cermin. Semenjak pulang dari bioskop tadi, jantung Rose terus berdegup kencang. Bahkan hingga saat ini, saat dimana seharusnya ia sudah terlelap, ia malah duduk di depan meja cerminnya. Ia tidak bisa tidur. Bayangan wajah Justin yang mendekat ke arahnya tadi masih terus ada di pikirannya. Ini membuat Rose gelisah.

Padahal setiap hari ia bertemu dengan Justin, tapi kenapa rasanya sekarang berbeda? Rasanya Justin yang sekarang bukanlah Justin yang biasanya. Bukanlah Justin yang dulu. Bukanlah orang asing yang tiba-tiba datang dan membuat Rose berprasangka aneh-aneh. Tapi Justin yang sekarang adalah, Justin yang Rose cintai.

Rose beranjak lalu keluar dari kamarnya, langkahnya dengan mantap menghampiri pintu kamar Justin, bersiap mengetuknya.

"Justin," panggil Rose sambil mengetuk pintu. Hening. Tidak ada jawaban.

"Kau sudah tidur?" tanya Rose. Masih hening juga.

"Justin, ada yang ingin kukatakan padamu."

Walaupun tetap tidak ada jawaban dari Justin, Rose akhirnya memutuskan untuk langsung mengungkapkannya.

"Sebenarnya aku tidak bisa tidur. Sejak pulang dari bioskop tadi, aku terus memikirkanmu hingga dadaku sesak, dan sepertinya dadaku akan semakin terasa sesak kalau tidak mengungkapkannya sekarang. Aku sepertinya mencintaimu. Ah tidak, aku memang mencintaimu. Kali ini aku yakin."

"Wah, senang sekali mendengarnya."

Suara Justin itu sontak mengagetkan Rose. Sambil mengelus dadanya karena terkejut, Rose membalikkan badannya yang disambut Justin dengan senyuman manis. Sebenarnya sejak dulu senyuman Justin memang manis, dan seterusnya senyuman Justin akan selalu manis di mata Rose.

"Kukira kau di dalam kamar," ujar Rose sambil mengelus tengkuknya karena malu.

"Kenapa? Kau mau masuk ke kamarku?" tanya Justin dengan tatapan yang sulit dibaca oleh Rose.

"A-apa?" Rose langsung gelagapan.

Justin kemudian terkekeh melihat ekspresi terkejut Rose.

"Jadi kau baru sadar kalau kau juga mencintaiku? Kenapa kau membuatku menunggu, Rose?"

Rose tersenyum malu yang membuat Justin gemas. "A-aku kan perlu berpikir dulu."

"Tidak apa-apa kalau kau berpikir dulu, selama yang kau pikirkan itu adalah aku."

Rose benar-benar tidak bisa lagi mengontrol detak jantungnya.

Justin kali ini berjalan mendekati Rose hingga tidak menyisakan sedikitpun jarak di antara mereka. Ia mengangkat tangan kanannya lalu membelai pipi Rose yang sudah memerah. Gadis itu terlihat jelas gugup setengah mati. Tangan kirinya memegang tengkuk Rose dan dalam hitungan detik, bibirnya sudah ia tempelkan pada bibir Rose. Mata Rose langsung terpejam begitu Justin mulai melumat bibirnya. Ciuman kedua mereka. Tapi kali ini rasanya berbeda, tidak seperti saat Justin mabuk, kali ini Rose menyukainya. Tidak hanya suka, ia juga menikmatinya. Rose pun mulai melingkarkan tangannya di leher Justin seiring ciuman mereka yang semakin dalam dan Justin memindahkan tangannya menuju pinggang Rose.

Dengan bibirnya yang belum lepas dari bibir Rose, Justin meraih gagang pintu yang berada tepat di belakang Rose lalu membuka pintu kamarnya. Perlahan ia melangkah masuk dengan agak mendorong tubuh Rose yang membuat gadis itu berjalan mundur. Setelah itu, ia menutup rapat pintu kamarnya.

-

Entah sudah keberapa kalinya Jennie menekan bel rumah Justin, namun hasilnya tetap sama, tidak ada yang membukakan pintu. Jennie ingin langsung masuk tapi ia tidak tahu password rumah Justin.

Prejudice ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang