Twelfth

2.4K 424 6
                                    

Rose keluar dari kamarnya mengenakan pakaian semi formal, celana jeans dan kemeja blouse. Sambil memakai tas selendangnya, ia menghampiri Justin yang sedang duduk di sofa ruang tengah sambil membaca buku.

"Aku pergi dulu, ya," pamit Rose.

Justin mendongak. "Mau kemana?"

"Hari ini adalah hari pertamaku bekerja, aku akan ke rumah klien pertamaku sekarang."

"Kalau begitu, aku antar," ujar Justin yang langsung menyimpan buku bacaannya lalu mengambil kunci mobilnya. "Ayo," ajak Justin.

"Huh? Aku bisa pergi sendiri, kok. Tidak usah diantar, tidap apa-apa."

"Kau mau pergi dengan apa? Bus? Kau kan belum punya kartu transportasi. Dengan taksi? Terlalu mahal. Selama aku bisa mengantar, kenapa tidak? Ayo."

Justin lalu berjalan mendahului Rose menuju pintu keluar. Setelah Rose pikirkan, perkataan Justin ada benarnya juga. Ia pun akhirnya menyusul Justin ke pintu keluar.

"Dimana alamatnya?" Tanya Justin saat mobil mereka sudah menyusuri jalanan komplek.

Rose mengeluarkan ponselnya lalu menunjukkan alamat kliennya pada Justin. Lelaki itu mengangguk-angguk lalu mulai menjalankan mobilnya menuju lokasi.

Sambil mengemudi, Justin sesekali melirik ke arah Rose yang terlihat sedang memegangi kalung yang dipakainya. Kalung yang baru ia lihat.

"Kalungmu bagus," puji Justin.

Rose agak terkejut mendengar ucapan Justin, tapi ia kemudian tersenyum. "Ah, ini pemberian June."

"Sepertinya aku baru lihat, tidak pernah kau pakai, ya?"

Tidak. Rose memang tidak pernah memakainya. Biasanya ia hanya memakainya bila bertemu dengan June, tetapi sekarang ia sudah jarang menemuinya karena mereka sama-sama sibuk. June sudah punya pekerjaan, begitu pula dirinya.

"Aku memakainya karena sedang merindukannya, kami kan jarang bertemu," ucap Rose dengan nada kecewa.

Entah kenapa, agak kesal Justin mendengar Rose kecewa karena kekasihnya itu.

"Kenapa? Padahal kan kalian bisa bertemu di kampus?"

Rose menghela napas. "Percuma berada di kampus yang sama kalau kita tidak pernah bisa saling menyesuaikan jadwal."

Kalung berinisial huruf J itu lalu kembali Rose masukkan ke balik kemeja blousenya. Ia lalu memalingkan wajahnya ke jendela mobil.

Justin kembali melirik Rose yang terlihat murung. Ia pun mencoba untuk menghibur Rose.

"Tapi kan, kau berhasil menangkap buket bunga itu kemarin. Bukankah itu pertanda bagus untukmu dan June?"

Sebenarnya Justin benci untuk mengatakan hal itu, tetapi melihat Rose yang mulai tersenyum walau tipis membuatnya ikut tersenyum juga.

Entah sejak kapan, senyuman Rose menjadi hal terindah yang selalu ingin ia lindungi.

"Ini rumahnya, sudah sampai," ujar Rose, Justin menghentikan mobilnya.

"Terima kasih sudah mengantarku, ya." Rose melepaskan sabuk pengamannya.

"Aku akan menunggu."

"Apa? Tidak usah, kau pulang saja. Aku bisa pulang sendiri."

"Tidak, lagipula aku juga sedang tidak ada pekerjaan apa-apa."

Lagi-lagi Justin membuat Rose tidak enak. Bagaimana mungkin ia membiarkan Justin menunggunya? Bagaimana bila pertemuannya dengan klien berlangsung lama?

Prejudice ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang